Sabtu, 23 Maret 2013

Makalah Sosiologi Hukum

Efektivitas Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  Dikaji Melalui Sosiologi Hukum

       I.            LATAR BELAKANG
Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, sehingga ada sebuah adagium yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu ubi societas ibi ius, dimana ada masyarakat maka ada hukum. Kehadiran hukum dalam masyarakat sangat penting, dimana fungsi hukum sebagai sosial kontrol merupakan aspek yuridis normatif dari kehidupan masyarakat. Sebagai alat pengendali sosial, hukum dianggap berfungsi untuk menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau perilaku yang menyimpang dari hukum, dan sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai perilaku tidak baik. Namun, apa yang dianggap baik oleh seseorang belum tentu baik menurut yang lainnya. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup bersama atau berkelompok, memerlukan perangkat patokan agar tidak terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai kebaikan tersebut. manusia selalu ingin hidup tentram dan damai, manusia memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Maka kemudian terciptalah perlindungan kepentingan berwujud kaidah sosial, termasuk didalamnya kaidah hukum.
Tatanan kaidah sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kaidah sosial dengan aspek kehidupan pribadi dan kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi. Kaidah sosial dengan aspek kehidupan pribadi meliputi kaidah agama dan kaidah kesusilaan, karena kaidah ini ditunjukan kepada manusia sebagai individu, sedangkan kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi adalah kaidah sopan santun atau tata karma yang meliputi antara lain sopan santun dalam pergaulan, berbusana, kaidah hukum, dan sebagainya, karena kaidah-kaidah ini ditujukan bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat dalam kaitannya manusia sebagai makhluk sosial.[1] 
Norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan atau kedamaian dalam berinteraksi bersama dengan orang-orang lain. Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian dan keadilan dalam masyarakat. Dimana dalam aliran sociological jurisprudence menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga dalam penegakan hukum hendaknya selain memperhatikan aspek hukumnya juga melihat aspek sosial, sehingga terciptalah hukum yang bermanfaat bagi orang banyak.
Penegakan hukum yang sebenarnya merupakan barometer berlangsungnya kehidupan ketatanegaraan bangsa Indonesia, baik itu yang memiliki implikasi terhadap tatanan budaya, sosial, dan ekonomi yang terganggu, karena perspektif penegakan hukum yang labilitas. Adanya kehendak bahwa hukum sebagai suatu supremasi dari negara yang berasaskan hukum tampaknya masih menimbulkan keragu-raguan manakala ada suatu relevansi yang ketat antara hukum dengan politik kekuasaan, khususnya terhadap kasus yang memiliki padanan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).    
Dewasa ini pemberitaan di Indonesia selalu dipenuhi dengan kasus korupsi para pejabat negara, seolah korupsi telah mendarah daging sehingga sulit untuk diberantasi. korupsi merupakan perbuatan penyalahgunaan kekuasaan oleh orang-orang yang berkuasa atau para pejabat negara yang memiliki kewenangan dimana ia menyalahgunakan kewenangan tersebut. akibat dari perbuatan korupsi ini adalah berdampak bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah mengapa korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena yang melakukan kejahatan korupsi adalah segolongan orang-orang tertentu tetapi dampaknya besar dan merugikan orang banyak.
Kesenjangan sosial dan kekuasaan yang cukup lebar dalam struktur masyarakat Indonesia, dipahami oleh para ahli turut menyuburkan hubungan patron-klien (pengayoman) yang pada gilirannya memberikan kontribusi besar bagi langgengnya budaya korupsi di masyarakat.[2] Misalnya dalam membuat SIM (Surat Izin Mengemudi), kita seolah dibiasakan untuk membayar “lebih” guna mendapatkan SIM secara cepat dan instan. Contoh lain pejabat politik harus membayar mahal untuk ikut serta dalam Pemilihan Umum, dan untuk mencapai jabatan yang diinginkan dibutuhkan pendukung yang banyak, untuk mendapatkan pendukung yang banyak dicarilah organisasi masyarakat atau kelompok tertentu yang bisa membawa masa, tentu saja hal tersebut membutuhkan dana, dimana bukan rahasia lagi setiap kampanye para calon legislatif memberikan uang kepada masyarakat untuk memilihnya. Setelah terpilih tidak menutup kemungkinan pejabat tersebut berpikir untuk mengembalikan uangnya melalui uang negara.
Peraturan mengenai pemberantasan korupsi sudah ada, bahkan disertai dengan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Walaupun demikian, kondisi korupsi di Indonesia tidak berkurang, hukuman mati rupanya tidak membuat para koruptor takut untuk melakukan korupsi. Karena dalam penegakannya pun belum ada koruptor di Indonesia yang dijatuhi hukuman mati. Seringkali korupsi dilakukan tidak secara personal, tetapi dilakukan secara kolektif, struktural, dan sistemis. Sehingga secara tidak langsung korupsi lambat laun menjadi sebuah budaya.
    II.            TUJUAN PENULISAN
1.      untuk mengetahui dan menganalisis peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi
2.      untuk mengetahui efektivitas penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi dalam kajian sosiologi hukum.

 III.            KERANGKA PERMASALAHAN
1.      Bagaimanakah peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi?
2.      Bagaimanakah penegakan hukum di Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi dikaji melalui sosiologi hukum?


PEMBAHASAN
A.    TEORI EFEKTIVITAS HUKUM
Seringkali kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat, hukum yang telah dibuat ternyata tidak efektif didalamnya, dan efektifitas hukum ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum (law enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan hukum dan penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain. Menegakkan hukum tidak persis sama dengan menggunakan hukum.[3] Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya. Penegakan hukum harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana tersirat dalam UUD 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa yang beradab (seperti the Basic Principles of Independence of Judiciary), agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.[4]
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor. Pertama; faktor hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[5] Sehingga agar hukum tersebut berjalan efektif yang harus dilihat adalah hukum itu sendiri, dimana tujuan hukum itu adalah memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Hukum yang dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan, dimana peraturan perundang-undangan itu dibuat harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat agar peraturan tersebut tidak hanya mengatur masyarakat tetapi memberikan kemanfaatan dan kesenangan bagi masyarakat.  Jika undang-undang sudah dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat maka dari segi penegak hukum, harus menjalankan atau menerapkan hukum secara adil, karena jika berbicara tentang kepastian hukum, kepastian hukum ini sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, tetapi masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang juga mengatur kehidupan masyarakat.
Para penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Jika peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan timbul masalah. Sarana atau fasilitas juga penting untuk mengefektifkan suatu hukum. Misalnya kendaraan dan alat komunikasi yang proporsional untuk polisi, rumah tahanan untuk kejaksaan. Sehingga jika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi, perlu dipertimbangkan mengenai fasilitas yang berpatokan kepada apa yang sudah ada dipelihara terus agar setiap saat berfungsi, apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya, apa yang kurang perlu dilengkapi, apa yang telah rusak diperbaiki atau diganti.
Masyarakat termasuk kepada faktor yang mengefektifkan hukum karena peraturan dibuat untuk masyarakat sehingga diperlukan kesadaran masyarakat untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Namun untuk meningkatkan kesadaran masyarakat diperlukan penyuluhan hukum yang teratur, pemberian teladan yang baik dari petugas didalam kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum, pelembagaan yang terencana dan terarah.[6] Relevan dengan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, Romli Atmasasmita mengatakan faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum,dll) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.[7]
Faktor kebudayaan juga menentukan efektif atau tidaknya suatu hukum, menurut Soerjono Soekanto, faktor kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang. Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum. Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidak ada faktor mana yang sangat dominan berpengaruh, semua faktor tersebut harus saling mendukung untuk membentuk efektifitas hukum.
Konsepsi operasional tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat dengan didasarkan pada dua konsep yang berbeda yaitu konsep tentang ramalan-ramalan mengenai akibat-akibat (prediction of consequences) yang dikemukakan oleh Lundberg dan Lansing tahun 1973 dan konsep Hans Kelsen tentang aspek rangkap dari suatu peraturan hukum.[8] Berdasarkan konsep Lundberg dan Lansing, serta konsep Hans Kelsen tersebut Robert B. Seidman dan William J. Chambliss menyusun suatu teori bekerjanya hukum di dalam masyarakat.
Menurut teori bekerjanya hukum dari Robert B. Siedmant :
1.      Setiap peraturan memberitahukan bagaimana seorang pemegang peran (role occupant) diharapkan bertindak, menerapkan sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.
2.      Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana bertindak sebagai respons terhadap peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai lembaga serta umpan balik dari pemegang peranan.
3.      Bagaimanapun pembuat undang-undang bertindak mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lain tentang mereka serta umpan balik dari pemegang peran serta birokrasi.
Keberhasilan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan sangat tergantung banyak faktor. Secara garis besar bekerjanya hukum dalam masyarakat akan ditentukan oleh beberapa faktor utama. Faktor-faktor tersebut dapat:
1.      Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan perundang-undangannya).
2.      Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah).
3.      Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis.
Faktor materi (substansi) suatu hukum atau peraturan perundang-undangan memegang peranan penting dalam penegakan hukum (law enforcement). Artinya di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan itu sendiri harus terkandung dan bahkan merupakan conditio sine quanon di dalamnya keadilan (justice). Sebab, bagaimana pun juga hukum yang baik adalah hukum yang di dalamnya terkandung nilai-nilai keadilan. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah faktor aparatur penegak hukum itu sendiri yang lazim juga disebut law enforcer (enforcement agencies). Relevan dengan hal tersebut B. M. Taverne mengatakan, “geef me goede rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken” bahwasanya “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun”. Dengan kata lain, “berikan padaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan.[9] Artinya, bagaimana pun lengkapnya suatu rumusan undang-undang, tanpa didukung oleh aparatur penegak hukum yang baik, memilikki moralitas dan integritas yang tinggi, maka hasilnya akan buruk.
Hal yang sangat penting yang harus juga mendapat perhatian serius dari aparatur penegak hukum adalah tidak bersikap diskriminatif dalam penegakan hukum (law enforcement). Hukum seringkali hanya efektif terhadap pelaku-pelaku pelanggaran hukum masyarakat kelas menengah. Inilah yang pernah dikuatirkan Honore de Balzac sebagaimana dikutip Pillipe Sands bahwa hukum di dunia sudah berubah menjadi seperti sarang laba-laba, “Les lois sont des toiles d’araignees a tavers lesquelles passent les grosses mouches et ou restent les petites” (hukum, seperti sarang laba-laba, menangkap serangga-serangga kecil dan membiarkan yang besar-besar lolos).[10] Sering dijumpai dalam hukum di Indonesia ini seolah penegakan hukum hanya berlaku bagi “yang tidak mampu”, sehingga terkesan bahwa hukum tajam bagi kalangan menengah dan bawah kemudian tumpul untuk kalangan atas, hal ini terbukti dengan berbagai kasus rakyat miskin yang terjerat kasus hukum karena mengambil sandal jepit dan mencuri pisang, seolah hal ini merupakan kasus besar yang segera ditindak dan divonis, tetapi bila kalangan atas seolah-olah tumpul dapat kita lihat pada kasus Century yang hingga saat ini belum mengalami perkembangan yang signifikan, sehingga belum bisa memberikan rasa keadilan bagi publik. Dalam hal ini terasa percuma untuk merancang undang-undang dan menjadikannya sebagai suatu produk hukum, jika hukum yang sudah dibuat itu tidak bermanfaat karena keinginan dan alat untuk melaksanakannya lemah.
Berkaitan dengan kepatuhan masyarakat terhadap suatu produk hukum, sangat tepat apa yang dikemukakan Ivor Jennings bahwa “The most law-abiding citizen in the world, particulary when the law seem to him to be sensible; but no man is more ready to take offence when it broken. He doesn’t obey orders because they are given by one person in authority; he obeys orders when they are lawful orders, issued by a person who has legal authority to issue them. Memang penting otoritas hukum itu, tetapi perlu juga didukung oleh kepatuhan terhadap hukum baik oleh pembuat hukum itu sendiri maupun masyarakat. Dalam pelaksanaan penegakan hukum hal yang terpenting adalah semangat penyelenggara negara atau semangat aparatur penegak hukumnya (the man behind the law), sebagaimana yang diamanatkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945:
“Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-Undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan apabila semangat para penyelenggara negara, Undang-Undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik. Sebaliknya, meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, Undang-Undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi jalannya negara. Jadi, yang paling penting ialah semangat”.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada di belakangnya. Dengan demikian aparat penegak hukum hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan (law making process). Penegakan hukum (law enforcement), keadilan dan hak asasi manusia merupakan tiga kata kunci dalam suatu negara hukum (rechtsstaat) seperti halnya Indonesia. Ketiga istilah tersebut mempunyai hubungan dan keterkaitan yang sangat erat. Keadilan adalah hakikat dari hukum. Oleh karena itu, jika suatu negara menyebut dirinya sebagai negara hukum, maka di dalam negara tersebut harus menjunjung tinggi keadilan (justice).  
B.     PERANAN SOSIOLOGI HUKUM DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAJI MELALUI SOSIOLOGI HUKUM
1.        Peranan Sosiologi Hukum Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi
Sosiologi hukum menurut Soejono Soekanto adalah cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.[11] Sosiologi hukum merupakan suatu ilmu yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan dapat diketahui dengan mempelajari fenomena sosial dalam masyarakat yang tampak aspek hukumnya. Oleh karena itu, adanya pengetahuan tersebut diharapkan turut mengangkat derajat ilmiah dari pendidikan hukum. Pernyataan ini dikemukakan atas asumsi bahwa sosiologi hukum dapat memenuhi tuntutan ilmu pengetahuan modern untuk melakukan atau membuat deskripsi, penjelasan, pengungkapan, dan prediksi. Jika keempat hal diatas merupakan tuntutan ilmu pengetahuan hukum saat ini sebagai dampak “modernisasi”, maka harus diakui dengan jujur bahwa pendidikan hukum dalam kajian jurisprudence model: rules (normative), logic, practical, dan decision yang bersifat terapan, tidak mampu memberikan pemahaman hukum yang utuh.
Pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang terdiri atas social structure, behavior, variable, observer, scientific, dan explanation akan menjadikan ilmu hukum itu responsif terhadap perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Karena itu, suatu pemahaman dan pengkajian hukum dalam konteks sosial yang lebih besar merupakan suatu keharusan, sehingga hukum akan tampak sebagai social control dalam masyarakat atau hukum ada karena adanya masyarakat dan bukan berarti masyarakat meninggalkan hukum yang telah dibuat oleh pejabat yang berwenang. Bila dilihat karakteristik kajian sosiologi hukum disebutkan bahwa sosiologi hukum berusaha memberikan deskripsi dalam praktik-praktik hukum. Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa suatu praktik-praktik hukum di dalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang mempengaruhi dan lain sebagainya. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu. Terakhir, karakteristik kajian sosiologi hukum adalah tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tingkah laku yang mentaati hukum, sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf.[12]
Dari karakteristik kajian sosiologi hukum diatas, dapat menjadi pedoman dalam menganalisis peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia ini. Korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Secara garis besar korupsi adalah suatu tindakan untuk memperkaya diri yang merugikan keuangan negara.  Untuk menemukan penyebab korupsi, dapat menggunakan konsepsi Alfred Schutz tentang because motive atau disebut sebagai motif penyebab. Di dalam konsepsi ini, maka dapat dinyatakan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh ada atau tidaknya faktor penyebabnya. Maka seseorang melakukan korupsi juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Faktor penyebab itulah yang disebut sebagai motif eksternal penyebab tindakan.[13]
Manusia sebagai makhluk sosial tentu ingin dipandang dan dihormati oleh manusia lainnya, bagi sebagian besar orang, uang dapat membuatnya dipandang dan dihormati, dengan uang pula mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, tak sedikit orang yang beranggapan bahwa seseorang dikatakan berhasil bilamana orang tersebut sudah mapan dalam segi materi, yaitu memiliki rumah mewah dikawasan elit, mobil mewah dan tak jarang para orangtua adu gengsi untuk menyekolahkan anaknya disekolahan yang bonafit. Atas dasar itu lah orang-orang selalu ingin menjadi kaya,  maka ukurannya adalah seberapa besar seseorang bisa mengakses kekayaan. ketika seseorang menempati suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka seseorang akan melakukannya secara maksimal.
Di dunia ini, maka banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Karena persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, maka  seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut diperoleh. Lebih rincinya pada faktor eksternal ini jika ada kesempatan seseorang untuk korupsi maka ia akan melakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang menurutnya tidak pernah cukup. Hal ini senada dengan faktor internal yang terdapat dari dalam diri orang itu sendiri yaitu moralitas. Bila seseorang tidak memiliki moral yang baik maka ia dengan mudah nya melakukan korupsi tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya itu.
Moralitas sendiri dalam pandangan Kant dibedakan atas moralitas heteronom dan moralitas otonom. Moralitas heteronom diartikan sebagai sikap dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak sipelaku. Dalam konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa dependensi manusia terhadap manusia menunjukkan inkonsistensi moral yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Moralitas otonom, disisi lain, digambarkan sebagai kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai baik. Seseorang menerima dan mengikuti hukum lahiriah bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya atau pun lantaran takut terhadap pemberi hukum, melainkan karena itu dijadikan kewajibannya sendiri berkat nilainya yang baik.
Untuk memberantas korupsi tidak cukup dengan menjerat para koruptor ke ranah hukum (pengadilan), karena dapat dilihat sejauh ini sudah berapa banyak koruptor yang diadili dan dijatuhi hukuman penjara, tetapi tetap tidak membuat para koruptor lainnya jera. Menurut pendapat Gunner Myrdal yang dikutip dalam buku Andi Hamzah “Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”, bahwa jalan untuk memberantas korupsi di negara-negara berkembang ialah :[14]
1.      Menaikan gaji pegawai rendah (dan menengah).
2.      Menaikan moral pegawai tinggi.
3.      Legalisasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal.
Bila keseluruhan dijalankan mungkin benar Indonesia dapat bebas dari korupsi, tetapi menaikan gaji pegawai rendah dan menengah tidak menjamin pegawai tersebut tidak korupsi, bila tidak dibekali moral yang baik. Jadi tidak hanya pegawai tinggi saja yang perlu pendidikan moral, tetapi keseluruhan moral bangsa Indonesia harus dibenahi, dan ini tidak bisa hanya diselesaikan secara normatif saja, tetapi juga diperlukan penyelesaian secara sosiologis agar hukum tersebut serasi dengan masyarakat.
Peran serta masyarakat akan mempengaruhi keberhasilan pemberantasan korupsi. Kalau masyarakat sudah mengubah budayanya dan bersikap “antikorupsi” maka situasi ini sudah cukup kondusif untuk memberantas korupsi. Dengan sikap demikian, diharapkan, masyarakat mau mencegah dan melaporkan korupsi yang terjadi. Partisipasi masyarakat juga dapat diberikan dalam bentuk “memboikot” setiap acara atau undangan dari pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi. Inilah hukuman masyarakat yang benar-benar efektif dan dirasakan para pelaku korupsi. Peran serta masyarakat di dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berbunyi :
1)      Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2)      Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk :
a)         Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.
b)        Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
c)         Hak untuk menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
d)        Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
e)         Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
a.       Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c.
b.      Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3)      Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
4)      Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya.
5)      Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Untuk mengurangi angka korupsi, di samping upaya pencegahan dan pemberantasan, juga diperlukan perubahan budaya dan dukungan masyarakat luas.
2.        Penegakan Hukum di Indonesia Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Dikaji Melalui Sosiologi Hukum
Efektivitas hukum adalah mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, petugas atau penegak hukum, sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum, kesadaran masyarakat.[15] Agar hukum itu berfungsi atau memiliki efektivitas maka suatu kaidah hukum harus berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Bila kaidah hukum berlaku secara yuridis saja, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati, dan jika hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa, dan begitu pula jika kaidah hukum hanya berlaku secara filosofis, maka kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan.[16] Sehingga jika dikaitkan dengan keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, agar Undang-Undang tersebut berjalan efektif maka harus memenuhi unsur-unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis.
Dikaji melalui berlakunya secara yuridis, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dibuat sesuai ketentuan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan kaedah hukum yang lebih tinggi, undang-undang ini dipaksakan berlakunya dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan secara filosofis undang-undang ini memiliki tujuan untuk menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Selain itu agar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat berjalan secara efektif dilihat pula bagaimana penegakan hukumnya. Disinilah permasalahan intinya penegakan hukum untuk kasus korupsi sangat lemah, seringkali hukuman bagi koruptor tidak setimpal dengan perbuatannya yang sudah merugikan keuangan negara yang berdampak pada seluruh masyarakat negara Indonesia, bahkan ada koruptor yang dibebaskan dengan dalih tidak cukup bukti, sedangkan kita tahu dewasa ini banyak putusan hakim yang kental isu suap, bahkan ada hakim yang terbukti menerima suap.
Tentu ini membuat masyarakat tidak percaya pada penegakan hukum di Indonesia, ditambah lagi dengan banyaknya kasus yang ditangani, tapi ketika sampai di pengadilan banyak terdakwanya yang dibebaskan. Padahal menurut perasaan keadilan masyarakat atau pun berdasarkan fakta yang muncul di pengadilan, seharusnya hakim memutuskan sebagai terbukti bersalah. Menghadapi beban penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi yang semakin canggih dan kompleks, lembaga kejaksaan sebagai ujung tombak penegak hukum, mutlak perlu membenahi diri ke dalam dan mereformasi diri. Salah satu agenda penting dalam reformasi lembaga kejaksaan adalah bagaimana lembaga ini dapat menjadi lembaga yang bebas dari intervensi politik. Politisasi hukum sudah berlangsung lama dan ini harus dijadikan agenda reformasi untuk menjadikan lembaga kejaksaan steril dari pengaruh politik dan kepentingan politik. Masyarakat kebanyakan masih menganggap suap sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan. Suap terjadi hampir di semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak yang belum memahami bahwa suap, baik memberi maupun menerima, termasuk kedalam tindak pidana. Suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi. Suap adalah awal lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang terjadi saat ini.
Penegakan hukum yang tajam kepada rakyat kecil, tetapi tumpul kepada yang berkuasa menggambarkan arogansi kekuasaan dan hukum yang kehilangan moralitas. Agar rasa keadilan dalam masyarakat tidak mati, lembaga dan aparat penegak hukum perlu direformasi. Masyarakat perlu meneruskan gerakan moral untuk menolak praktik ketidakadilan. Keadilan tidak sebatas teks, tetapi juga harus menyinggung rasa kemanusiaan. Hukum hanya jadi perantara agar manusia bisa hidup harmonis, stabil, dan menghargai sesamanya. Harapan itu disampaikan peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Jakarta, Herdi Sahrasad, serta Direktur Newseum Taufik Rahzen secara terpisah di Jakarta, Jumat (6/1). Keduanya menolak tindakan hukum yang tegas kepada rakyat bawah, tetapi lemah mengungkap kasus besar, terutama korupsi.[17] Hukum yang semestinya melindungi dan menegakkan keadilan justru terasa tak adil. Semua itu mencerminkan arogansi penguasa yang menggunakan kekuasaannya untuk mengatur proses hukum. Tanpa memihak pada keadilan dan rakyat, hukum hanya prosedur yang kehilangan moralitas. Hukum menjadi permainan bagi sebagian orang. Jika kondisi ini berlanjut, rakyat terus menjadi korban. Tanpa kekuasaan dan modal, mereka mudah diincar jerat hukum. Akibatnya, masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan pemerintah.
Untuk menghindari hal itu sebaiknya semua elemen bangsa harus mendorong reformasi menyeluruh terhadap kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman agar menjalankan hukum secara tegas, adil, dan bersih. Reformasi ini harus dikerjakan bersama oleh legislatif, eksekutif, yudikatif, dan civil society, Masyarakat diharapkan terus menggalang solidaritas untuk melawan ketidakadilan yang menimpa rakyat. Hal ini perlu kerja sama dengan semua tokoh dan memanfaatkan jaringan media sosial. Begitupun media, baik media cetak maupun elektronik juga perlu untuk tetap mengawal hukum dan mendorong penegakan keadilan.
Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum itu dalam masyarakat. Fungsi hukum dimaksud, dapat diamati dari beberapa sudut pandang, yaitu:[18]
1.      Fungsi hukum sebagai sosial kontrol didalam masyarakat;
Mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku.
2.      Fungsi hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat;
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat (social engineering) berkaitan dengan fungsi dan keberadaan hukum sebagai pengatur dan penggerak perubahan masyarakat, maka interpretasi analogi Pound mengemukakan “hak” yang bagaimanakah seharusnya diatur oleh hukum, dan “hak-hak” yang bagaimanakah dapat dituntut oleh individu dalam hidup bermasyarakat.
3.      Fungsi hukum sebagai simbol pengetahuan;
Fungsi hukum sebagai simbol merupakan makna yang dipahami oleh seseorang dari suatu perilaku warga nasyarakat tentang hukum.
4.      Fungsi hukum sebagai alat politik;
Hukum dan politik amat susah dipisahkan, karena produk hukum itu sendiri  dibuat oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan pemerintah. Hukum sebagai alat politik tidak dapat berlaku secara universal, sebab tidak semua hukum diproduksi oleh DPR bersama pemerintah.
5.      Fungsi hukum sebagai alat integrasi;
Hukum sebagai alat integrasi, hukum berfungsi sebelum terjadi konflik dan sesudah terjadi konflik, konflik yang dimaksud yakni akibat dari benturan kepentingan antar masyarakat.
            Penegakan hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya, didalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seharunya memiliki pedoman, diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Di dalam hal penegakan hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegakan hukum menghadapi hal-hal tersebut :[19]
1.      Sampai sejauh mana petugas (penegak hukum) terikat dari peraturan-peraturan yang ada.
2.      Sampai batas-batas mana petugas berkenaan memberikan kebijakan.
3.      Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat.
4.      Sampai manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.
Sehingga dari pernyataan diatas, disebutkan bahwa penegak hukum harus mengetahui apa saja yang menjadi kewenangannya, hak dan kewajibannya dalam menegakan hukum, dan penegak hukum seyogyanya memberikan suri tauladan yang baik, yang dapat menjadi contoh bagi masyarakat dalam menegakan hukum. Jika penegak hukum memiliki moral yang baik dan diikuti oleh masyarakat, maka hukum dan moralitas berjalan beriringan dan terciptalah hukum yang bermanfaat. Dimana hukum yang bermanfaat menurut teori utilitarianisme adalah hukum yang memberikan kesenangan bagi banyak orang.
            Dalam bukunya Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian aturan “tritunggal” yakni nilai, kaidah, dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang simpangsiur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.[20] Selanjutnya disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum :[21]
1.      Faktor hukum itu sendiri
2.      Faktor penegak hukum
3.      Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4.      Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
5.      Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan, karena kelima faktor tersebut merupakan esensi dari penegakan hukum, selain itu juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Jika dilihat pada penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001, sudah dirasa cukup mewakili keingininan dan kebutuhan masyarakat, hanya saja dewasa ini menjadi perdebatan tentang hukuman mati yang ada dalam undang-undang tersebut, karena dalam undang-undang tersebut seorang koruptor hanya dapat dijatuhi hukuman mati dalam keadaan-keadaan tertentu, hal ini berbeda dengan sistem hukum Cina yang langsung menghukum mati terpidana kasus korupsi, sehingga menimbulkan rasa takut bagi masyarakat setempat untuk melakukan korupsi. Berbeda dengan Indonesia, yang tidak pernah memberikan hukuman mati bagi koruptor, para koruptor Indonesia kebanyakan hanya dijatuhi hukuman empat sampai delapan tahun saja dengan hukuman denda yang tidak sesuai dengan jumlah yang mereka korupsi dari uang negara. Tentu ini memperlihatkan penegak hukum di Indonesia masih setengah hati dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Menurut Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H. bahwa salah satu alat bagi Hakim untuk lebih mengembangkan kemampuannya dalam menciptakan hukum melalui putusan-putusannya adalah dengan cara lebih memahami adanya 3 (tiga) jenis ilmu hukum dan juga 3 (tiga) jenis pendekatan dalam ilmu hukum. 3 (tiga) Jenis ilmu hukum yaitu :
  1. Ilmu tentang asas-asas fundamental di bidang hukum (Beggriffenwissenscheft);
    Ilmu tetang norma hukum dan aturan hukum (Normwissenschaft);
  2. Ilmu tentang perilaku hukum, tindakan hukum dan realitas hukum (Tatsacherwissenschaft).
ketiga jenis pendekatan dalam ilmu hukum dapat digambarkan dengan dimulai dari :
Pendekatan empiris di bidang hukum, Pendekatan normatif, Pendekatan filosofis. Dimana kajian sosiologi hukum termasuk salah satu diantara pendekatan dalam ilmu hukum tersebut. Jika menginginkan lahirnya suatu produk hukum dan keputusan hukum yang optimal, maka ketiga pendekatan ilmu hukum tersebut harus diimplementasikan secara proporsional dan harmonis oleh para penegak hukum, yang pada akhirnya dapat mewujutkan penegakan hukum yang bermartabat.
            Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain :
  1. Upaya pencegahan (preventif).
  2. Upaya penindakan (kuratif).
  3. Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
  4. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
Upaya Pencegahan (Preventif) yaitu dengan menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama, melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis, para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi, para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua, menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi, sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien, melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok, berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan melalui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya. Upaya Penindakan (Kuratif), yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana.
Upaya Edukasi Masyarakat, yaitu dengan memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik, tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh, melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional, membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan pemerintahan negara dan aspek-aspek hukumnya, mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas, Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), organisasi yang mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi
Menurut Prof. Dr. Andi Hamzah dalam bukunya menyebutkan bahwa kesadaran hukum masyarakat lah yang sangat berpengaruh dalam memberantas tindak pidana korupsi ini, di negara-negara Afrika Selatan dirumuskan strategi pemberantasan korupsi berbentuk piramida yang pada puncaknya adalah prevensi (pencerahan), sedangkan pada kedua sisinya masing-masing pendidikan masyarakat dan pemidanaan.[22] Dalam memberantas korupsi Andi Hamzah berpendapat, bahwa harus dicari penyebab korupsi itu dahulu, kemudian kemudian penyebab itu dihilangkan dengan cara prevensi disusul dengan pendidikan (peningkatan kesadaran hukum) masyarakat disertai dengan tindakan represif (pemidanaan).[23]
Sebagaimana dibahas sebelumnya faktor seseorang melakukan korupsi adalah karena ketamakannya, dan untuk membuat orang tamak jera adalah memiskinkanya, menurut hemat penulis jika terpidana kasus korupsi “dimiskinkan”, yakni ditarik harta kekayaannya, sudah membuat koruptor-koruptor lainnya jera, sehingga hukum dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. Sarana dan fasilitas menurut hemat penulis sudah terpenuhi dengan adanya keistimewaan dalam melakukan penyidikan dalam kasus korupsi, juga sudah ada lembaga khusus yang menangani kasus korupsi ini yakni Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini pun berlaku bagi seluruh warga Indonesia, sehingga diperlukan kesadaran masyarakat untuk mematuhi undang-undang yang sudah ada. Dimana untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat diperlukan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang baik. Penyuluhan hukum itu sendiri bertujuan agar masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum tertentu. Penyuluhan hukum tersebut harus disesuaikan dengan masalah-masalah hukum yang ada dalam masyarakat pada suatu waktu yang menjadi sasaran penyuluhan hukum. 


PENUTUP
Dalam memberantas tindak pidana korupsi perlu diketahui sebelumnya faktor penyebab dari korupsi itu sendiri, faktor penyebab orang melakukan korupsi disebabkan dua faktor yaitu faktor ekstern dan faktor intern, dimana faktor ekstern berasal dari ketidakpuasan orang tersebut atas harta yang dimiliknya juga karena kebutuhan ekonomi, dan faktor intern yaitu moral dari orang itu sendiri. Sehingga yang perlu dibenahi adalah moral dari pejabat negara Indonesia khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, karena hukum sudah mengatur sedemikian rupa mengenai tindak pidana korupsi, hanya saja dalam penegakannya, pemberantasan tindak pidana korupsi tidak ditegakan secara adil, melainkan penegakan hukum disini masih tembang pilih, sehingga terkesan hukum itu tumpul untuk kalangan atas. Dimana dalam membicarakan keadilan merupakan sesuatu yang bersifat subjektif, sehingga dalam menegakan keadilan tidak hanya membutuhkan hukum secara yuridis, melainkan juga melihat sisi sosiologis nya. Sanksi yg lemah dan penerapan hukum yg tidak konsisten masih mewarnai penegakan hukum dalam memberantas korupsi di Indonesia ini. Jika Indonesia benar-benar ingin memberantas korupsi maka dimulai dari moral yang baik bagi setiap masyarakat Indonesia, terutama moral para pejabat negara yang menjadi panutan bagi masyarakat. Keseriusan penegak hukum dalam menegakan hukum yang adil bagi seluruh masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, dan peran serta masyarakat itu sendiri untuk memberantas korupsi, dan untuk tindakan represif bagi koruptor, perlu adanya sanksi yang “memiskinkan” koruptor serta sanksi dari masyarakat bagi para koruptor. Agar diharapkan pemberantasan korupsi di Indonesia ini dapat berjalan secara efektif.




[1] Soedikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 15
[2] Zainudin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 163
[3] Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia., Cetakan Kedua, Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 169
[4] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Kedua, Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, hlm.70
[5] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 8
[6] Zainudin Ali, op.cit, hlm. 96
[7] Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 55
[8] Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum, CV Agung, Semarang, 1989, hlm. 23
[9] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 6
[10] Satjipto Rahardjo,  Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayumedia, Malang, 2008, hlm. 111
[11] Soerjono soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm 11
[12] Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 8-9
[13] http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=526, Prof.DR.Nur Syam.M.Si, Penyebab korupsi diakses pada Tanggal 5 Januari 2013.
[14] Andi hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2007, hlm. 259
[15] Zainudin ali, op.cit., hlm. 62
[16] Ibid.
[17] http://nasional.kompas.com, Eko Hendrawan Sofyan, Penegakan Hukum Kehilangan Moralitas, diakses pada Tanggal 5 Januari 2013.
[18]Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 39
[19] Zainudin Ali, op.cit., hlm. 63
[20] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.7
[21] Ibid., hlm.8
[22] Andi Hamzah, op.cit., hlm. 261
[23] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar