Efektivitas Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dikaji Melalui Sosiologi Hukum
I.
LATAR
BELAKANG
Hukum
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, sehingga ada
sebuah adagium yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu ubi societas ibi ius, dimana ada masyarakat maka ada hukum.
Kehadiran hukum dalam masyarakat sangat penting, dimana fungsi hukum sebagai
sosial kontrol merupakan aspek yuridis normatif dari kehidupan masyarakat.
Sebagai alat pengendali sosial, hukum dianggap berfungsi untuk menetapkan
tingkah laku yang baik dan tidak baik atau perilaku yang menyimpang dari hukum,
dan sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai perilaku tidak baik. Namun, apa
yang dianggap baik oleh seseorang belum tentu baik menurut yang lainnya. Oleh
karena itu manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup bersama atau
berkelompok, memerlukan perangkat patokan agar tidak terjadi pertentangan
kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai kebaikan
tersebut. manusia selalu ingin hidup tentram dan damai, manusia memerlukan
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Maka kemudian terciptalah
perlindungan kepentingan berwujud kaidah sosial, termasuk didalamnya kaidah
hukum.
Tatanan
kaidah sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kaidah sosial dengan
aspek kehidupan pribadi dan kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi.
Kaidah sosial dengan aspek kehidupan pribadi meliputi kaidah agama dan kaidah
kesusilaan, karena kaidah ini ditunjukan kepada manusia sebagai individu,
sedangkan kaidah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi adalah kaidah
sopan santun atau tata karma yang meliputi antara lain sopan santun dalam
pergaulan, berbusana, kaidah hukum, dan sebagainya, karena kaidah-kaidah ini
ditujukan bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat dalam kaitannya manusia
sebagai makhluk sosial.[1]
Norma
atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan atau
kedamaian dalam berinteraksi bersama dengan orang-orang lain. Norma atau kaidah
hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian dan keadilan dalam masyarakat.
Dimana dalam aliran sociological
jurisprudence menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga dalam penegakan hukum
hendaknya selain memperhatikan aspek hukumnya juga melihat aspek sosial,
sehingga terciptalah hukum yang bermanfaat bagi orang banyak.
Penegakan
hukum yang sebenarnya merupakan barometer berlangsungnya kehidupan
ketatanegaraan bangsa Indonesia, baik itu yang memiliki implikasi terhadap
tatanan budaya, sosial, dan ekonomi yang terganggu, karena perspektif penegakan
hukum yang labilitas. Adanya kehendak bahwa hukum sebagai suatu supremasi dari
negara yang berasaskan hukum tampaknya masih menimbulkan keragu-raguan manakala
ada suatu relevansi yang ketat antara hukum dengan politik kekuasaan, khususnya
terhadap kasus yang memiliki padanan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN).
Dewasa
ini pemberitaan di Indonesia selalu dipenuhi dengan kasus korupsi para pejabat negara,
seolah korupsi telah mendarah daging sehingga sulit untuk diberantasi. korupsi
merupakan perbuatan penyalahgunaan kekuasaan oleh orang-orang yang berkuasa
atau para pejabat negara yang memiliki kewenangan dimana ia menyalahgunakan
kewenangan tersebut. akibat dari perbuatan korupsi ini adalah berdampak bagi
seluruh rakyat Indonesia. Inilah mengapa korupsi dianggap sebagai kejahatan
luar biasa (extraordinary crime)
karena yang melakukan kejahatan korupsi adalah segolongan orang-orang tertentu
tetapi dampaknya besar dan merugikan orang banyak.
Kesenjangan
sosial dan kekuasaan yang cukup lebar dalam struktur masyarakat Indonesia,
dipahami oleh para ahli turut menyuburkan hubungan patron-klien (pengayoman)
yang pada gilirannya memberikan kontribusi besar bagi langgengnya budaya
korupsi di masyarakat.[2]
Misalnya dalam membuat SIM (Surat Izin Mengemudi), kita seolah dibiasakan untuk
membayar “lebih” guna mendapatkan SIM secara cepat dan instan. Contoh lain
pejabat politik harus membayar mahal untuk ikut serta dalam Pemilihan Umum, dan
untuk mencapai jabatan yang diinginkan dibutuhkan pendukung yang banyak, untuk
mendapatkan pendukung yang banyak dicarilah organisasi masyarakat atau kelompok
tertentu yang bisa membawa masa, tentu saja hal tersebut membutuhkan dana,
dimana bukan rahasia lagi setiap kampanye para calon legislatif memberikan uang
kepada masyarakat untuk memilihnya. Setelah terpilih tidak menutup kemungkinan
pejabat tersebut berpikir untuk mengembalikan uangnya melalui uang negara.
Peraturan
mengenai pemberantasan korupsi sudah ada, bahkan disertai dengan hukuman
maksimal, yaitu hukuman mati. Walaupun demikian, kondisi korupsi di Indonesia
tidak berkurang, hukuman mati rupanya tidak membuat para koruptor takut untuk
melakukan korupsi. Karena dalam penegakannya pun belum ada koruptor di
Indonesia yang dijatuhi hukuman mati. Seringkali korupsi dilakukan tidak secara
personal, tetapi dilakukan secara kolektif, struktural, dan sistemis. Sehingga
secara tidak langsung korupsi lambat laun menjadi sebuah budaya.
II.
TUJUAN PENULISAN
1. untuk
mengetahui dan menganalisis peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak
pidana korupsi
2. untuk
mengetahui efektivitas penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi
dalam kajian sosiologi hukum.
III.
KERANGKA PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah
peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi?
2. Bagaimanakah
penegakan hukum di Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi dikaji
melalui sosiologi hukum?
PEMBAHASAN
A.
TEORI
EFEKTIVITAS HUKUM
Seringkali kita mengetahui bahwa di
dalam masyarakat, hukum yang telah dibuat ternyata tidak efektif didalamnya,
dan efektifitas hukum ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan
penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan
hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan
sosiologis. Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum (law
enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan
hukum dan penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang dapat menegakkan
hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakkan hukum untuk
digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain. Menegakkan hukum tidak
persis sama dengan menggunakan hukum.[3]
Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga penegakannya dipengaruhi
lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial,
budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya. Penegakan hukum harus
berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana tersirat dalam UUD
1945 dan asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa yang beradab
(seperti the Basic Principles of Independence of Judiciary), agar
penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif akibat pengaruh
lingkungan yang sangat kompleks tersebut.[4]
Berdasarkan teori efektivitas hukum
yang dikemukakan Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum
ditentukan oleh 5 (lima) faktor. Pertama; faktor hukumnya sendiri
(undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat, yakni
lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima;
faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[5]
Sehingga agar hukum tersebut berjalan efektif yang harus dilihat adalah hukum
itu sendiri, dimana tujuan hukum itu adalah memberikan keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum.
Hukum yang dalam hal ini adalah peraturan
perundang-undangan, dimana peraturan perundang-undangan itu dibuat harus sesuai
dengan kebutuhan masyarakat agar peraturan tersebut tidak hanya mengatur masyarakat
tetapi memberikan kemanfaatan dan kesenangan bagi masyarakat. Jika undang-undang sudah dibuat sesuai dengan
kebutuhan masyarakat maka dari segi penegak hukum, harus menjalankan atau
menerapkan hukum secara adil, karena jika berbicara tentang kepastian hukum,
kepastian hukum ini sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan
bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara
secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak
tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya
keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat
dari sudut hukum tertulis saja, tetapi masih banyak aturan-aturan yang hidup
dalam masyarakat yang juga mengatur kehidupan masyarakat.
Para penegak hukum memainkan peran
penting dalam memfungsikan hukum. Jika peraturan sudah baik, tetapi kualitas
penegak hukum rendah maka akan timbul masalah. Sarana atau fasilitas juga
penting untuk mengefektifkan suatu hukum. Misalnya kendaraan dan alat
komunikasi yang proporsional untuk polisi, rumah tahanan untuk kejaksaan.
Sehingga jika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi, perlu
dipertimbangkan mengenai fasilitas yang berpatokan kepada apa yang sudah ada
dipelihara terus agar setiap saat berfungsi, apa yang belum ada, perlu diadakan
dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya, apa yang kurang perlu
dilengkapi, apa yang telah rusak diperbaiki atau diganti.
Masyarakat termasuk kepada faktor
yang mengefektifkan hukum karena peraturan dibuat untuk masyarakat sehingga
diperlukan kesadaran masyarakat untuk mematuhi suatu peraturan
perundang-undangan. Sehingga derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum
merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Namun
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat diperlukan penyuluhan hukum yang
teratur, pemberian teladan yang baik dari petugas didalam kepatuhan terhadap
hukum dan respek terhadap hukum, pelembagaan yang terencana dan terarah.[6]
Relevan
dengan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut,
Romli Atmasasmita mengatakan faktor-faktor yang menghambat efektivitas
penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum
(hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum,dll) akan tetapi juga terletak pada
faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.[7]
Faktor
kebudayaan juga menentukan efektif atau tidaknya suatu hukum, menurut Soerjono
Soekanto, faktor kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya
bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan
orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang
perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa
yang dilarang. Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena
menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari
efektifitas penegakan hukum. Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto
tersebut, tidak ada faktor mana yang sangat dominan berpengaruh, semua faktor
tersebut harus saling mendukung untuk membentuk efektifitas hukum.
Konsepsi
operasional tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat dengan didasarkan pada
dua konsep yang berbeda yaitu konsep tentang ramalan-ramalan mengenai
akibat-akibat (prediction of consequences) yang dikemukakan oleh
Lundberg dan Lansing tahun 1973 dan konsep Hans Kelsen tentang aspek rangkap
dari suatu peraturan hukum.[8]
Berdasarkan konsep Lundberg dan Lansing, serta konsep Hans Kelsen tersebut
Robert B. Seidman dan William J. Chambliss menyusun suatu teori bekerjanya
hukum di dalam masyarakat.
Menurut
teori bekerjanya hukum dari Robert B. Siedmant :
1. Setiap
peraturan memberitahukan bagaimana seorang pemegang peran (role occupant) diharapkan bertindak, menerapkan sanksi-sanksinya,
aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial,
politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.
2. Bagaimana
lembaga-lembaga pelaksana bertindak sebagai respons terhadap peraturan yang
ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial,
politik dan lain-lainnya mengenai lembaga serta umpan balik dari pemegang
peranan.
3. Bagaimanapun
pembuat undang-undang bertindak mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya,
keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lain tentang
mereka serta umpan balik dari pemegang peran serta birokrasi.
Keberhasilan pelaksanaan suatu peraturan
perundang-undangan sangat tergantung banyak faktor. Secara garis besar
bekerjanya hukum dalam masyarakat akan ditentukan oleh beberapa faktor utama. Faktor-faktor
tersebut dapat:
1. Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan
perundang-undangannya).
2. Penegakannya
(para pihak dan peranan pemerintah).
3. Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis.
Faktor materi (substansi) suatu hukum atau peraturan
perundang-undangan memegang peranan penting dalam penegakan hukum (law
enforcement). Artinya di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan itu
sendiri harus terkandung dan bahkan merupakan conditio sine quanon di
dalamnya keadilan (justice). Sebab, bagaimana pun juga hukum yang baik
adalah hukum yang di dalamnya terkandung nilai-nilai keadilan. Faktor yang
tidak kalah pentingnya adalah faktor aparatur penegak hukum itu sendiri yang
lazim juga disebut law enforcer (enforcement agencies). Relevan
dengan hal tersebut B. M. Taverne mengatakan, “geef me goede rechter, goede
rechter commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie
ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede
beruken” bahwasanya “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang
baik, maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang
pun”. Dengan kata lain, “berikan padaku hakim dan jaksa yang baik, maka
dengan hukum yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan.[9]
Artinya, bagaimana pun lengkapnya suatu rumusan
undang-undang, tanpa didukung oleh aparatur penegak hukum yang baik, memilikki
moralitas dan integritas yang tinggi, maka hasilnya akan buruk.
Hal yang sangat penting yang harus juga mendapat
perhatian serius dari aparatur penegak hukum adalah tidak bersikap
diskriminatif dalam penegakan hukum (law enforcement). Hukum seringkali
hanya efektif terhadap pelaku-pelaku pelanggaran hukum masyarakat kelas
menengah. Inilah yang pernah dikuatirkan Honore de Balzac sebagaimana dikutip
Pillipe Sands bahwa hukum di dunia sudah berubah menjadi seperti sarang
laba-laba, “Les lois sont des toiles d’araignees a tavers lesquelles passent
les grosses mouches et ou restent les petites” (hukum, seperti sarang
laba-laba, menangkap serangga-serangga kecil dan membiarkan yang besar-besar
lolos).[10]
Sering
dijumpai dalam hukum di Indonesia ini seolah penegakan hukum hanya berlaku bagi
“yang tidak mampu”, sehingga terkesan bahwa hukum tajam bagi kalangan menengah
dan bawah kemudian tumpul untuk kalangan atas, hal ini terbukti dengan berbagai
kasus rakyat miskin yang terjerat kasus hukum karena mengambil sandal jepit dan
mencuri pisang, seolah hal ini merupakan kasus besar yang segera ditindak dan
divonis, tetapi bila kalangan atas seolah-olah tumpul dapat kita lihat pada
kasus Century yang hingga saat ini belum mengalami perkembangan yang
signifikan, sehingga belum bisa memberikan rasa keadilan bagi publik. Dalam hal
ini terasa percuma untuk merancang undang-undang dan menjadikannya sebagai suatu
produk hukum, jika hukum yang sudah dibuat itu tidak bermanfaat karena
keinginan dan alat untuk melaksanakannya lemah.
Berkaitan
dengan kepatuhan masyarakat terhadap suatu produk hukum, sangat tepat apa yang
dikemukakan Ivor Jennings bahwa “The most law-abiding citizen in the world,
particulary when the law seem to him to be sensible; but no man is more ready
to take offence when it broken. He doesn’t obey orders because they are given
by one person in authority; he obeys orders when they are lawful orders, issued
by a person who has legal authority to issue them. Memang penting otoritas
hukum itu, tetapi perlu juga didukung oleh kepatuhan terhadap hukum baik oleh
pembuat hukum itu sendiri maupun masyarakat. Dalam pelaksanaan penegakan hukum
hal yang terpenting adalah semangat penyelenggara negara atau semangat aparatur
penegak hukumnya (the man behind the law), sebagaimana yang diamanatkan
dalam Penjelasan Umum UUD 1945:
“Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam
hidup negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para
pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-Undang Dasar yang menurut
kata-katanya bersifat kekeluargaan apabila semangat para penyelenggara negara,
Undang-Undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik. Sebaliknya,
meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat
para penyelenggara pemerintahan baik, Undang-Undang Dasar itu tentu tidak akan
merintangi jalannya negara. Jadi, yang paling penting ialah semangat”.
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha menegakkan
norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada di
belakangnya. Dengan demikian aparat penegak hukum hendaknya memahami
benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum
yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam
proses pembuatan perundang-undangan (law making process). Penegakan
hukum (law enforcement), keadilan dan hak asasi manusia merupakan tiga
kata kunci dalam suatu negara hukum (rechtsstaat) seperti halnya
Indonesia. Ketiga istilah
tersebut mempunyai hubungan dan keterkaitan yang sangat erat. Keadilan adalah
hakikat dari hukum. Oleh karena itu, jika suatu negara menyebut dirinya sebagai
negara hukum, maka di dalam negara tersebut harus menjunjung tinggi keadilan (justice).
B.
PERANAN
SOSIOLOGI HUKUM DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENEGAKAN HUKUM DI
INDONESIA DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAJI MELALUI SOSIOLOGI
HUKUM
1.
Peranan
Sosiologi Hukum Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi
Sosiologi
hukum menurut Soejono Soekanto adalah cabang ilmu pengetahuan yang secara
analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara
hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.[11]
Sosiologi hukum merupakan suatu ilmu yang muncul dari perkembangan ilmu
pengetahuan hukum dan dapat diketahui dengan mempelajari fenomena sosial dalam
masyarakat yang tampak aspek hukumnya. Oleh karena itu, adanya pengetahuan
tersebut diharapkan turut mengangkat derajat ilmiah dari pendidikan hukum.
Pernyataan ini dikemukakan atas asumsi bahwa sosiologi hukum dapat memenuhi
tuntutan ilmu pengetahuan modern untuk melakukan atau membuat deskripsi,
penjelasan, pengungkapan, dan prediksi. Jika keempat hal diatas merupakan
tuntutan ilmu pengetahuan hukum saat ini sebagai dampak “modernisasi”, maka
harus diakui dengan jujur bahwa pendidikan hukum dalam kajian jurisprudence model: rules (normative),
logic, practical, dan decision
yang bersifat terapan, tidak mampu memberikan pemahaman hukum yang utuh.
Pendidikan
hukum yang bersifat sociological model
yang terdiri atas social structure,
behavior, variable, observer, scientific, dan explanation akan menjadikan ilmu hukum itu responsif terhadap
perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Karena itu, suatu pemahaman dan
pengkajian hukum dalam konteks sosial yang lebih besar merupakan suatu
keharusan, sehingga hukum akan tampak sebagai social control dalam masyarakat atau hukum ada karena adanya
masyarakat dan bukan berarti masyarakat meninggalkan hukum yang telah dibuat
oleh pejabat yang berwenang. Bila dilihat karakteristik kajian sosiologi hukum disebutkan
bahwa sosiologi hukum berusaha memberikan deskripsi dalam praktik-praktik
hukum. Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa suatu
praktik-praktik hukum di dalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi,
sebab-sebabnya, faktor-faktor yang mempengaruhi dan lain sebagainya. Sosiologi
hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan
hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai
dengan masyarakat tertentu. Terakhir, karakteristik kajian sosiologi hukum
adalah tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tingkah laku yang mentaati
hukum, sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf.[12]
Dari
karakteristik kajian sosiologi hukum diatas, dapat menjadi pedoman dalam
menganalisis peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi di
Indonesia ini. Korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah perbuatan yang
buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Secara
garis besar korupsi adalah suatu tindakan untuk memperkaya diri yang merugikan
keuangan negara. Untuk menemukan
penyebab korupsi, dapat menggunakan konsepsi Alfred Schutz tentang because motive atau disebut sebagai
motif penyebab. Di dalam konsepsi ini, maka dapat dinyatakan bahwa tindakan
manusia ditentukan oleh ada atau tidaknya faktor penyebabnya. Maka seseorang
melakukan korupsi juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Faktor
penyebab itulah yang disebut sebagai motif eksternal penyebab tindakan.[13]
Manusia
sebagai makhluk sosial tentu ingin dipandang dan dihormati oleh manusia
lainnya, bagi sebagian besar orang, uang dapat membuatnya dipandang dan
dihormati, dengan uang pula mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan,
tak sedikit orang yang beranggapan bahwa seseorang dikatakan berhasil bilamana
orang tersebut sudah mapan dalam segi materi, yaitu memiliki rumah mewah
dikawasan elit, mobil mewah dan tak jarang para orangtua adu gengsi untuk
menyekolahkan anaknya disekolahan yang bonafit. Atas dasar itu lah orang-orang
selalu ingin menjadi kaya, maka
ukurannya adalah seberapa besar seseorang bisa mengakses kekayaan. ketika
seseorang menempati suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka seseorang
akan melakukannya secara maksimal.
Di
dunia ini, maka banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Karena
persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, maka
seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana
kekayaan tersebut diperoleh. Lebih rincinya pada faktor eksternal ini jika ada
kesempatan seseorang untuk korupsi maka ia akan melakukannya untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang menurutnya tidak pernah cukup. Hal ini senada dengan
faktor internal yang terdapat dari dalam diri orang itu sendiri yaitu
moralitas. Bila seseorang tidak memiliki moral yang baik maka ia dengan mudah
nya melakukan korupsi tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya itu.
Moralitas sendiri dalam pandangan Kant dibedakan atas
moralitas heteronom dan moralitas otonom. Moralitas heteronom diartikan sebagai
sikap dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri,
melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak sipelaku. Dalam
konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa dependensi manusia terhadap manusia
menunjukkan inkonsistensi moral yang dimiliki oleh seseorang tersebut.
Moralitas otonom, disisi lain, digambarkan sebagai
kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai sesuatu yang
dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai baik. Seseorang menerima dan
mengikuti hukum lahiriah bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya
atau pun lantaran takut terhadap pemberi hukum, melainkan karena itu dijadikan
kewajibannya sendiri berkat nilainya yang baik.
Untuk
memberantas korupsi tidak cukup dengan menjerat para koruptor ke ranah hukum
(pengadilan), karena dapat dilihat sejauh ini sudah berapa banyak koruptor yang
diadili dan dijatuhi hukuman penjara, tetapi tetap tidak membuat para koruptor
lainnya jera. Menurut pendapat Gunner Myrdal yang dikutip dalam buku Andi
Hamzah “Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”,
bahwa jalan untuk memberantas korupsi di negara-negara berkembang ialah :[14]
1. Menaikan
gaji pegawai rendah (dan menengah).
2. Menaikan
moral pegawai tinggi.
3. Legalisasi
pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal.
Bila
keseluruhan dijalankan mungkin benar Indonesia dapat bebas dari korupsi, tetapi
menaikan gaji pegawai rendah dan menengah tidak menjamin pegawai tersebut tidak
korupsi, bila tidak dibekali moral yang baik. Jadi tidak hanya pegawai tinggi
saja yang perlu pendidikan moral, tetapi keseluruhan moral bangsa Indonesia
harus dibenahi, dan ini tidak bisa hanya diselesaikan secara normatif saja, tetapi juga diperlukan penyelesaian secara sosiologis
agar hukum tersebut serasi dengan masyarakat.
Peran
serta masyarakat akan mempengaruhi keberhasilan pemberantasan korupsi. Kalau
masyarakat sudah mengubah budayanya dan bersikap “antikorupsi” maka situasi ini
sudah cukup kondusif untuk memberantas korupsi. Dengan sikap demikian,
diharapkan, masyarakat mau mencegah dan melaporkan korupsi yang terjadi.
Partisipasi masyarakat juga dapat diberikan dalam bentuk “memboikot” setiap
acara atau undangan dari pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi. Inilah
hukuman masyarakat yang benar-benar efektif dan dirasakan para pelaku korupsi.
Peran serta masyarakat di dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berbunyi
:
1)
Masyarakat
dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
2)
Peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk :
a)
Hak
mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi.
b)
Hak
untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang
menangani perkara tindak pidana korupsi.
c)
Hak
untuk menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak
hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
d)
Hak
untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
e)
Hak
untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
a.
Melaksanakan
haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c.
b.
Diminta
hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi
pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3)
Masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawa dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
4)
Hak
dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama
dan norma sosial lainnya.
5)
Ketentuan
mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini,
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Untuk
mengurangi angka korupsi, di samping upaya pencegahan dan pemberantasan, juga
diperlukan perubahan budaya dan dukungan masyarakat luas.
2.
Penegakan
Hukum di Indonesia Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Dikaji Melalui
Sosiologi Hukum
Efektivitas
hukum adalah mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku
secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh
karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam
masyarakat, yaitu kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, petugas atau penegak
hukum, sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum, kesadaran
masyarakat.[15]
Agar hukum itu berfungsi atau memiliki efektivitas maka suatu kaidah hukum
harus berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Bila kaidah hukum
berlaku secara yuridis saja, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati,
dan jika hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka
kaidah itu menjadi aturan pemaksa, dan begitu pula jika kaidah hukum hanya
berlaku secara filosofis, maka kaidah itu hanya merupakan hukum yang
dicita-citakan.[16]
Sehingga jika dikaitkan dengan keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, agar Undang-Undang tersebut berjalan efektif maka harus
memenuhi unsur-unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis.
Dikaji
melalui berlakunya secara yuridis, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi ini dibuat sesuai ketentuan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
kaedah hukum yang lebih tinggi, undang-undang ini dipaksakan berlakunya dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan secara filosofis undang-undang ini
memiliki tujuan untuk menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman
penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana
korupsi. Selain itu agar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dapat berjalan secara efektif dilihat pula bagaimana penegakan hukumnya.
Disinilah permasalahan intinya penegakan hukum untuk kasus korupsi sangat
lemah, seringkali hukuman bagi koruptor tidak setimpal dengan perbuatannya yang
sudah merugikan keuangan negara yang berdampak pada seluruh masyarakat negara
Indonesia, bahkan ada koruptor yang dibebaskan dengan dalih tidak cukup bukti,
sedangkan kita tahu dewasa ini banyak putusan hakim yang kental isu suap,
bahkan ada hakim yang terbukti menerima suap.
Tentu
ini membuat masyarakat tidak percaya pada penegakan hukum di Indonesia,
ditambah lagi dengan banyaknya kasus yang ditangani, tapi ketika sampai di
pengadilan banyak terdakwanya yang dibebaskan. Padahal menurut perasaan
keadilan masyarakat atau pun berdasarkan fakta yang muncul di pengadilan,
seharusnya hakim memutuskan sebagai terbukti bersalah. Menghadapi beban
penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi yang semakin canggih dan kompleks,
lembaga kejaksaan sebagai ujung tombak penegak hukum, mutlak perlu membenahi
diri ke dalam dan mereformasi diri. Salah satu agenda penting dalam reformasi
lembaga kejaksaan adalah bagaimana lembaga ini dapat menjadi lembaga yang bebas
dari intervensi politik. Politisasi hukum sudah berlangsung lama dan ini harus
dijadikan agenda reformasi untuk menjadikan lembaga kejaksaan steril dari
pengaruh politik dan kepentingan politik. Masyarakat kebanyakan masih
menganggap suap sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan.
Suap terjadi hampir di semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan
masyarakat. Banyak yang belum memahami bahwa suap, baik memberi maupun
menerima, termasuk kedalam tindak pidana. Suap dianggap sebagai bentuk primitif
dan induk korupsi. Suap adalah awal lahirnya budaya koruptif dalam skala luas
yang terjadi saat ini.
Penegakan
hukum yang tajam kepada rakyat kecil, tetapi tumpul kepada yang berkuasa
menggambarkan arogansi kekuasaan dan hukum yang kehilangan moralitas. Agar rasa
keadilan dalam masyarakat tidak mati, lembaga dan aparat penegak hukum perlu
direformasi. Masyarakat perlu meneruskan gerakan moral untuk menolak praktik
ketidakadilan. Keadilan
tidak sebatas teks, tetapi juga harus menyinggung rasa kemanusiaan. Hukum hanya
jadi perantara agar manusia bisa hidup harmonis, stabil, dan menghargai
sesamanya. Harapan itu disampaikan peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta, Herdi Sahrasad, serta Direktur Newseum Taufik
Rahzen secara terpisah di Jakarta, Jumat (6/1). Keduanya menolak tindakan hukum
yang tegas kepada rakyat bawah, tetapi lemah mengungkap kasus besar, terutama
korupsi.[17]
Hukum yang semestinya melindungi dan menegakkan keadilan justru terasa tak adil.
Semua itu mencerminkan arogansi penguasa yang menggunakan kekuasaannya untuk
mengatur proses hukum. Tanpa memihak pada keadilan dan rakyat, hukum hanya
prosedur yang kehilangan moralitas. Hukum menjadi permainan bagi sebagian orang.
Jika kondisi ini berlanjut, rakyat terus menjadi korban. Tanpa kekuasaan dan
modal, mereka mudah diincar jerat hukum. Akibatnya, masyarakat akan semakin
kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan pemerintah.
Untuk menghindari hal itu sebaiknya
semua elemen bangsa harus mendorong reformasi menyeluruh terhadap kepolisian,
kejaksaan, dan kehakiman agar menjalankan hukum secara tegas, adil, dan bersih.
Reformasi ini harus dikerjakan bersama oleh legislatif, eksekutif, yudikatif,
dan civil society, Masyarakat
diharapkan terus menggalang solidaritas untuk melawan ketidakadilan yang
menimpa rakyat. Hal ini perlu kerja sama dengan semua tokoh dan memanfaatkan
jaringan media sosial. Begitupun media, baik media cetak maupun elektronik juga
perlu untuk tetap mengawal hukum dan mendorong penegakan keadilan.
Untuk
memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum itu dalam masyarakat.
Fungsi hukum dimaksud, dapat diamati dari beberapa sudut pandang, yaitu:[18]
1. Fungsi
hukum sebagai sosial kontrol didalam masyarakat;
Mendidik,
mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan
nilai yang berlaku.
2. Fungsi
hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat;
Hukum
sebagai alat untuk mengubah masyarakat (social
engineering) berkaitan dengan fungsi dan keberadaan hukum sebagai pengatur
dan penggerak perubahan masyarakat, maka interpretasi analogi Pound
mengemukakan “hak” yang bagaimanakah seharusnya diatur oleh hukum, dan
“hak-hak” yang bagaimanakah dapat dituntut oleh individu dalam hidup
bermasyarakat.
3. Fungsi
hukum sebagai simbol pengetahuan;
Fungsi
hukum sebagai simbol merupakan makna yang dipahami oleh seseorang dari suatu perilaku
warga nasyarakat tentang hukum.
4. Fungsi
hukum sebagai alat politik;
Hukum
dan politik amat susah dipisahkan, karena produk hukum itu sendiri dibuat oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan
pemerintah. Hukum sebagai alat politik tidak dapat berlaku secara universal,
sebab tidak semua hukum diproduksi oleh DPR bersama pemerintah.
5. Fungsi
hukum sebagai alat integrasi;
Hukum
sebagai alat integrasi, hukum berfungsi sebelum terjadi konflik dan sesudah
terjadi konflik, konflik yang dimaksud yakni akibat dari benturan kepentingan
antar masyarakat.
Penegakan hukum atau orang yang
bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab
menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya, didalam
melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seharunya memiliki pedoman,
diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup
tugas-tugasnya. Di dalam hal penegakan hukum dimaksud, kemungkinan petugas
penegakan hukum menghadapi hal-hal tersebut :[19]
1.
Sampai sejauh mana petugas (penegak
hukum) terikat dari peraturan-peraturan yang ada.
2.
Sampai batas-batas mana petugas berkenaan
memberikan kebijakan.
3.
Teladan macam apakah yang sebaiknya
diberikan oleh petugas kepada masyarakat.
4.
Sampai manakah derajat sinkronisasi
penugasan-penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan
batas-batas yang tegas pada wewenangnya.
Sehingga
dari pernyataan diatas, disebutkan bahwa penegak hukum harus mengetahui apa
saja yang menjadi kewenangannya, hak dan kewajibannya dalam menegakan hukum,
dan penegak hukum seyogyanya memberikan suri tauladan yang baik, yang dapat
menjadi contoh bagi masyarakat dalam menegakan hukum. Jika penegak hukum
memiliki moral yang baik dan diikuti oleh masyarakat, maka hukum dan moralitas
berjalan beriringan dan terciptalah hukum yang bermanfaat. Dimana hukum yang
bermanfaat menurut teori utilitarianisme adalah hukum yang memberikan
kesenangan bagi banyak orang.
Dalam bukunya Soerjono Soekanto
menyebutkan bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila
ada ketidakserasian aturan “tritunggal” yakni nilai, kaidah, dan pola perilaku.
Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai
yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang simpangsiur, dan
pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.[20]
Selanjutnya disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum :[21]
1.
Faktor hukum itu sendiri
2.
Faktor penegak hukum
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum
4.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan
dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
5.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil
karya cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.
Kelima
faktor tersebut saling berkaitan, karena kelima faktor tersebut merupakan
esensi dari penegakan hukum, selain itu juga merupakan tolak ukur daripada
efektivitas penegakan hukum. Jika dilihat pada penegakan hukum dalam
memberantas tindak pidana korupsi, maka Undang-Undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001, sudah dirasa cukup mewakili
keingininan dan kebutuhan masyarakat, hanya saja dewasa ini menjadi perdebatan
tentang hukuman mati yang ada dalam undang-undang tersebut, karena dalam
undang-undang tersebut seorang koruptor hanya dapat dijatuhi hukuman mati dalam
keadaan-keadaan tertentu, hal ini berbeda dengan sistem hukum Cina yang langsung
menghukum mati terpidana kasus korupsi, sehingga menimbulkan rasa takut bagi
masyarakat setempat untuk melakukan korupsi. Berbeda dengan Indonesia, yang
tidak pernah memberikan hukuman mati bagi koruptor, para koruptor Indonesia
kebanyakan hanya dijatuhi hukuman empat sampai delapan tahun saja dengan
hukuman denda yang tidak sesuai dengan jumlah yang mereka korupsi dari uang
negara. Tentu ini memperlihatkan penegak hukum di Indonesia masih setengah hati
dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Menurut
Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H. bahwa salah satu alat bagi Hakim untuk lebih
mengembangkan kemampuannya dalam menciptakan hukum melalui putusan-putusannya
adalah dengan cara lebih memahami adanya 3 (tiga) jenis ilmu hukum dan juga 3
(tiga) jenis pendekatan dalam ilmu hukum. 3 (tiga) Jenis ilmu hukum yaitu :
- Ilmu
tentang asas-asas fundamental di bidang hukum (Beggriffenwissenscheft);
Ilmu tetang norma hukum dan aturan hukum (Normwissenschaft); - Ilmu tentang perilaku hukum, tindakan hukum dan realitas hukum (Tatsacherwissenschaft).
ketiga
jenis pendekatan dalam ilmu hukum dapat digambarkan dengan dimulai dari :
Pendekatan empiris di bidang hukum, Pendekatan normatif, Pendekatan filosofis. Dimana kajian sosiologi hukum termasuk salah satu diantara pendekatan dalam ilmu hukum tersebut. Jika menginginkan lahirnya suatu produk hukum dan keputusan hukum yang optimal, maka ketiga pendekatan ilmu hukum tersebut harus diimplementasikan secara proporsional dan harmonis oleh para penegak hukum, yang pada akhirnya dapat mewujutkan penegakan hukum yang bermartabat.
Pendekatan empiris di bidang hukum, Pendekatan normatif, Pendekatan filosofis. Dimana kajian sosiologi hukum termasuk salah satu diantara pendekatan dalam ilmu hukum tersebut. Jika menginginkan lahirnya suatu produk hukum dan keputusan hukum yang optimal, maka ketiga pendekatan ilmu hukum tersebut harus diimplementasikan secara proporsional dan harmonis oleh para penegak hukum, yang pada akhirnya dapat mewujutkan penegakan hukum yang bermartabat.
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas
tindak korupsi di Indonesia, antara lain :
- Upaya pencegahan (preventif).
- Upaya penindakan (kuratif).
- Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
- Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
Upaya
Pencegahan (Preventif) yaitu dengan menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian
pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama, melakukan
penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis, para pejabat
dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang
tinggi, para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada
jaminan masa tua, menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja
yang tinggi, sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung
jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien, melakukan
pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok, berusaha melakukan
reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan melalui penyederhanaan
jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya. Upaya Penindakan
(Kuratif), yaitu dilakukan
kepada mereka yang terbukti melanggar dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan
pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana.
Upaya
Edukasi Masyarakat, yaitu dengan memiliki
tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait
dengan kepentingan publik, tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh, melakukan
kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke
tingkat pusat/nasional, membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang
penyelenggaraan pemerintahan negara dan aspek-aspek hukumnya, mampu
memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap
pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas, Upaya
Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), organisasi
yang mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan
terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi
melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi
Menurut
Prof. Dr. Andi Hamzah dalam bukunya menyebutkan bahwa kesadaran hukum
masyarakat lah yang sangat berpengaruh dalam memberantas tindak pidana korupsi
ini, di negara-negara Afrika Selatan dirumuskan strategi pemberantasan korupsi
berbentuk piramida yang pada puncaknya adalah prevensi (pencerahan), sedangkan
pada kedua sisinya masing-masing pendidikan masyarakat dan pemidanaan.[22]
Dalam memberantas korupsi Andi Hamzah berpendapat, bahwa harus dicari penyebab
korupsi itu dahulu, kemudian kemudian penyebab itu dihilangkan dengan cara
prevensi disusul dengan pendidikan (peningkatan kesadaran hukum) masyarakat
disertai dengan tindakan represif (pemidanaan).[23]
Sebagaimana
dibahas sebelumnya faktor seseorang melakukan korupsi adalah karena
ketamakannya, dan untuk membuat orang tamak jera adalah memiskinkanya, menurut
hemat penulis jika terpidana kasus korupsi “dimiskinkan”, yakni ditarik harta
kekayaannya, sudah membuat koruptor-koruptor lainnya jera, sehingga hukum dapat
berjalan sesuai dengan tujuannya. Sarana dan fasilitas menurut hemat penulis
sudah terpenuhi dengan adanya keistimewaan dalam melakukan penyidikan dalam
kasus korupsi, juga sudah ada lembaga khusus yang menangani kasus korupsi ini
yakni Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ini pun berlaku bagi seluruh warga Indonesia, sehingga diperlukan
kesadaran masyarakat untuk mematuhi undang-undang yang sudah ada. Dimana untuk
menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat diperlukan penyuluhan hukum yang teratur
atas dasar perencanaan yang baik. Penyuluhan hukum itu sendiri bertujuan agar
masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum tertentu. Penyuluhan hukum
tersebut harus disesuaikan dengan masalah-masalah hukum yang ada dalam
masyarakat pada suatu waktu yang menjadi sasaran penyuluhan hukum.
PENUTUP
Dalam
memberantas tindak pidana korupsi perlu diketahui sebelumnya faktor penyebab
dari korupsi itu sendiri, faktor penyebab orang melakukan korupsi disebabkan
dua faktor yaitu faktor ekstern dan faktor intern, dimana faktor ekstern
berasal dari ketidakpuasan orang tersebut atas harta yang dimiliknya juga
karena kebutuhan ekonomi, dan faktor intern yaitu moral dari orang itu sendiri.
Sehingga yang perlu dibenahi adalah moral dari pejabat negara Indonesia
khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, karena hukum sudah mengatur
sedemikian rupa mengenai tindak pidana korupsi, hanya saja dalam penegakannya,
pemberantasan tindak pidana korupsi tidak ditegakan secara adil, melainkan
penegakan hukum disini masih tembang pilih, sehingga terkesan hukum itu tumpul
untuk kalangan atas. Dimana dalam membicarakan keadilan merupakan sesuatu yang
bersifat subjektif, sehingga dalam menegakan keadilan tidak hanya membutuhkan
hukum secara yuridis, melainkan juga melihat sisi sosiologis nya. Sanksi yg
lemah dan penerapan hukum yg tidak konsisten masih mewarnai penegakan hukum
dalam memberantas korupsi di Indonesia ini. Jika Indonesia benar-benar ingin
memberantas korupsi maka dimulai dari moral yang baik bagi setiap masyarakat
Indonesia, terutama moral para pejabat negara yang menjadi panutan bagi
masyarakat. Keseriusan penegak hukum dalam menegakan hukum yang adil bagi
seluruh masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, dan peran serta masyarakat itu
sendiri untuk memberantas korupsi, dan untuk tindakan represif bagi koruptor,
perlu adanya sanksi yang “memiskinkan” koruptor serta sanksi dari masyarakat
bagi para koruptor. Agar diharapkan pemberantasan korupsi di Indonesia ini
dapat berjalan secara efektif.
[1] Soedikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2012, hlm. 15
[2] Zainudin Ali, Filsafat Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 163
[3] Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia., Cetakan
Kedua, Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 169
[4] Muladi, Hak
Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Kedua, Universitas Diponegoro, Semarang,
2002, hlm.70
[5] Soerjono
Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 8
[6] Zainudin Ali, op.cit, hlm. 96
[7] Romli
Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 2001, hlm. 55
[8] Ronny
Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum,
CV Agung, Semarang, 1989, hlm. 23
[11] Soerjono soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1989, hlm 11
[12] Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 8-9
[13] http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=526, Prof.DR.Nur Syam.M.Si, Penyebab
korupsi diakses pada Tanggal 5 Januari 2013.
[14] Andi hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2007, hlm. 259
[15] Zainudin ali, op.cit., hlm. 62
[16] Ibid.
[17] http://nasional.kompas.com, Eko Hendrawan Sofyan, Penegakan Hukum Kehilangan Moralitas, diakses pada Tanggal 5
Januari 2013.
[18]Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 39
[19] Zainudin Ali, op.cit., hlm. 63
[20] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.7
[21] Ibid., hlm.8
[22] Andi Hamzah, op.cit., hlm. 261
[23] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar