PENDAHULUAN
Negara-negara yang termasuk kedalam masyarakat internasional
selalu tidak tetap dan berubah-ubah, perjalanan sejarah yang panjang membuahkan
banyak perubahan tersebut. Negara-negara lama lenyap atau bergabung dengan
dengan negara lain, kemudian membentuk sebuah Negara baru, atau terpecah
menjadi beberapa Negara baru, hilangnya negara yang sudah ada, pemberontakan,
kudeta, pergantian rezim pemerintahan, perubahan kepemilikan teritorial silih
berganti mewarnai dinamika politik dunia. Berdasarkan hukum internasional ada
akibat-akibat hukum yang penting berkaitan dengan fakta-fakta tersebut. Pada
umumnya untuk dapat diterima sepenuhnya dalam masyarakat internasional, suatu
entitas baru apakah itu suatu negara baru, pemerintahan baru, kelompok
pemberontak ataukah perolehan tambahan wilayah tertentu membutuhkan suatu
pengakuan dari pihak lain.
Pengaruh dari pengakuan adalah memberikan kemudahan bagi
negara yang bersangkutan untuk melakukan transaksi-transaksi internasional
dikemudian hari. Dengan dimilikinya pengakuan oleh suatu negara maka secara
otomatis hal tersebut menunjukan apabila negara tersebut telah menyandang
hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum yang dibebankan oleh hukum internasional.
Selain itu pengakuan merupakan penerimaan dari negara-negara lain sebagai
subjek hukum terhadap negara lainnya untuk bertindak dalam kapasitas sebagai
subjek hukum. Pengakuan dapat dinyatakan secara terang-terangan ataupun secara
diam-diam. Pengakuan dalam hukum internasional tidak hanya terkait dengan
penerapan kriteria-kriteria hukum. Oleh karena itu, dalam penerapannya justru
pertimbangan politiklah yang sangat menentukan.
Dalam praktik internasional pengakuan diam-diam (implied recognition) justru yang lebih
sering dilakukan. Tindakan negara membuka hubungan diplomatik dengan suatu
negara baru, pemberian execuatur pada
konsuler negara baru, kehadiran pimpinan suatu negara pada upacara kemerdekaan
suatu negara baru adalah contoh-contoh pengakuan diam-diam yang dapat
ditafsirkan secara jelas adanya pengakuan dari satu pihak pada pihak yang lain.
Dalam hal ini Indonesia membuka kantor perwakilanya di Taipe begitu pun
sebaliknya merupakan pengakuan secara diam-diam Indonesia terhadap keberadaan
Taiwan sebagai negara berdaulat, karena Indonesia penganut kebijakan satu Cina,
yakni hanya mengakui Republik Rakyat Cina sebagai satu-satunya negara yang sah
menguasai wilayah Cina daratan dan Cina kepulauan. Masalah pengakuan mau tidak
mau harus dihadapi oleh beberapa Negara terutama apabila hubungan diplomatik dengan
Negara-negara atau pemerintah-pemerintah yang diakui itu dianggap perlu untuk
dipertahankan.
Taiwan merupakan salah satu Negara yang memiliki pengaruh
kuat di kawasan Asia. Negara yang memisahkan diri dan merdeka dari China ini
merupakan sebuah pulau di sebelah timur China yang beribu kotakan di Taipei.
Secara resmi memang banyak Negara belum mengakui Taiwan sebagai suatu Negara
yang berdaulat karena China sendiri selalu melaksanakan One China Policy kepada Negara
Negara lain di dunia. Republik Rakyat China masih menganggap bahwa Taiwan
merupakan sebuah provinsi bagian Fujian yang memberontak, sedangkan Taiwan
menyebut dirinya sebagai sebuah Negara sendiri yang beraliran nasionalis dan
tidak ingin disamakan dengan China.
RUMUSAN
MASALAH
- Bagaimanakah perkembangan hubungan ekonomi dan politik Indonesia-Taiwan saat ini?
- Bagaimanakah implikasi kebijakan One China Policy terhadap hubungan kerjasama ekonomi dan perdagangan antara Indonesia dan Taiwan?
PEMBAHASAN
1. Perkembangan
Hubungan Ekonomi dan Politik Indonesia-Taiwan
Perkembangan hubungan ekonomi dan
politik antara Indonesia dengan Taiwan, terlebih dahulu dibahas mengenai
hubungan politik antara Indonesia-Taiwan dengan dilihat dari sudut pandang
pengakuan (recognition). Pengakuan (recognition)
menurut praktek negara modern bukan sekedar mengetahui, atau lebih dari pada
pernyataan mengetahui bahwa suatu negara atau pemerintahan memenuhi syarat
untuk diakui. Dalam hal tersebut terdapat dua teori yaitu teori deklaratoir,
teori Konstitutif dan teori pengakuan kolektif.[1]Menurut
penganut Teori Deklaratoir,
pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja bahwa suatu negara telah lahir
atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun
terhadap keberadaan suatu negara sebagai subjek hukum internasional. Dengan
kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan
hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungan internasional.
Berbeda dengan penganut Teori Deklaratif, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan justru
sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu negara
sebagai anggota masyarakat internasional. Artinya, pengakuan merupakan
prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian hukum internasional (international
legal personality) suatu negara. Dengan kata lain, tanpa pengakuan,
suatu negara bukan atau belumlah merupakan subjek hukum internasional.
Pertentangan yang ada antara teori deklaratif dengan teori konstitutif, dimana
teori yang pertama menganggap pengakuan tidak lebih dari tindakan politik saja,
sedangkan teori yang kedua menekankan pada aspek yuridisnya, telah menimbulkan
ketidakpastian dalam praktik masyarakat internasional. Semua ini menurut Jessup
tidak lepas dari kurangnya lembaga-lembaga formal dalam hukum internasional
yang memiliki kewenangan menetapkan parameter sekaligus memberikan atau menolak
pengakuan terhadap suatu entitas politik baru yang mengklaim dirinya sebagai
negara. Oleh karena itu Jessup berpendapat bahwa untuk memberikan atau menolak
pengakuan, harus melewati lembaga pengakuan yang parameternya ditentukan secara
kolektif, hal ini untuk mencegah masing-masing negara bertindak sendiri-sendiri
tanpa parameter hukum yang jelas.
Dalam teori pengakuan juga dikenal
dengan pengakuan de facto dan de jure, pembedaan pengakuan ini sebagaimana
dikatakan oleh Profesor Brownlie, tidak memiliki konsekuensi apapun secara
hukum.[2]
Akan tetapi dalam prakteknya pembedaan pengakuan seperti itu masih
dipertahankan. Pengakuan de Facto diberikan kepada negara yang berdasarkan
fakta atau kenyataan bahwa pemerintahan dari negara yang diakui itu lahir atau
eksis. Dalam pengakuan ini terdapat keragu-raguan dari pihak pemberi pengakuan
akan keberlangsungannya. Tanpa mempersoalkan keabsahan yuridis pihak yang
diakui itu, sekali pengakuan diberikan sejak saat itu pula konsekuensi hukum
dari hubungan timbal-balik antar kedua negara dapat langsung, meskipun diakui
secara diam-diam. Karena itu yang menjadi penekanan adalah fakta bahwa pihak
yang diakui eksis sebagaimana layaknya sebuah negara. sebagai contoh adalah
Inggris yang mengakui pemerintahan Soviet secara de Facto pada tahun 1921 dan
pengakuan de Jure baru diberikan pada tahun 1924. Dengan demikian pengakuan de
facto diberikan hanya berdasarkan fakta atau kenyataannya, sebab suatu fakta
atau suatu peristiwa telah terjadi. Apakah pihak yang diakui de facto tersebut
akan bertambah efektif eksistensinya ataukah sebaliknya adalah sangat
tergantung pada perkembangan factual dari negara tersebut.
Dalam hal negara yang diberi
pengakuan de facto semakin efektif eksistensinya sehingga mampu menguasai
wilayah dan rakyatnya secara penuh mendukungnya, dan menunjukan kesediaannya
mentaati kewajiban-kewajiban internasional. Akibatnya negara yang semula
memberikan pengakuan de facto dapat menindak lanjuti pengakuan de facto yang
sebelumnya telah diberikan dengan memberikan lagi pengakuan de jure. Sebab
pengakuan de jure baru dapat diberikan apabila negara yang hendak memberi
pengakuan percaya bahwa negara yang akan diakui secara de jure tersebut telah
memenuhi kualifikasi menurut hukum internasional. Hal tersebut antara lain :[3]
1.
Efektivitas
yaitu negara baru telah menguasai secara efektif baik secara formal maupun
secara substansial wilayah dan rakyat yang berada dibawah kekuasaannya.
2.
Regularitas,
yaitu rakyatnya itu sendiri sebagian besar atau seluruhnya telah memberikan
dukungan yang sepenuhnya terhadap negara yang baru lahir.
3.
Ekslusivitas
yaitu adanya kesediaan pihak yang akan diakui secara de jure tersebut untuk
menghormati kaidah-kaidah hukum internasional.
Sebagai
suatu titik di Asia Timur, eksistensi Taiwan dengan nama resmi Republic of China selalu dipertanyakan.
Apakah Taiwan termasuk salah satu negara di Asia Timur atau tidak, ia tidak ada
dalam daftar keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) namun dikategorikan
sebagai salah satu macan Asia dan juga tergabung dalam WTO (World Trade Organization).
Dilihat dari syarat umum adanya suatu negara, tampaknya Taiwan telah memenuhi 3
(tiga) unsur dasar untuk menjadi negara-bangsa, yakni ada wilayah, penduduk dan
pemerintah.[4]
1. Wilayah
Taiwan terletak di
tepi Samudera Pasifik, meliputi Pulau Taiwan/Formosa dan pulau-pulau kecil di
sekitarnya, Kepulauan Penghu di Selat Taiwan, serta Kinmen dan Kepulauan Matsu
di seberang pantai Fujian, China Daratan. Akan tetapi, wilayah tersebut secara
konstitusional berada di bawah otoritas Pemerintah Republik Rakyat China
sebagai provinsi.
2. Penduduk
Dilihat dari
penduduknya, Taiwan memiliki populasi penduduk sekitar 23.000.000 jiwa, yang
terdiri dari berbagai etnis. Etnis tersebut terdiri dari 98 % Han (kemudian
terbagi lagi atas 70% Hoklo, 14% Hakka, 14% Cina Daratan), dan 2% penduduk asli
Taiwan atau kelahiran Taiwan. Dilihat dari budaya Taiwan juga mempunyai budaya
tersendiri, walaupun budaya tersebut banyak di pengaruhi oleh budaya Tiongkok.
3. Pemerintahan
Dalam konteks
Republik China, partai-partai politik berkembang di Taiwan, pemilihan umum
berlangsung secara teratur, organ-organ trias politica (Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif) terstuktur. Saat ini Ma Ying-jeou dari partai
Kuomintang menduduki jabatan kepala eksekutif. Bahkan, Taiwan memiliki Angkatan
Bersenjata yang lengkap; satu-satunya lembaga pemilik otoritas penggunaan
kekerasan dalam sistem negara bangsa modern.
Namun, unsur
tersebut belum cukup untuk mengatakan Taiwan sebagai “negara berdaulat”. Unsur
terpenting dalam politik internasional adalah pengakuan dari negara lain.
Pengakuan negara lain inilah yang menentukan eksistensinya, bukan sekedar de
facto ataupun proses politik internalnya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
bukanlah negara yang mempunyai wewenang memberikan pengakuan atas keberadaan suatu
negara ataupun pemerintahan baru. Akan tetapi, Resolusi A/RES/2758 sebagai
hasil pemungutan suara di Majelis Umum PBB 25 Oktober 1971 yang sepakat
memberikan kursi keanggotaan kepada perwakilan dari RRC menandai hilangnya
Republik China di panggung internasional.
Kedudukan
hukum ekonomi internasional dalam tata hukum di Indonesia dibagi menjadi dua
yaitu :
1. Hukum
ekonomi internasional "privat"
Para
pihak/pelaku hukum ekonomi internasional adalah "persoon" (natuur
persoon atau recht persoon) yang berasal dari dua atau lebih negara
atau lokasi bisnis yang berbeda, yang melakukan kegiatan ekonomi seperti credit/loan, trade, investment, sales contract. Sumber hukum ekonomi
internasional privat adalah contract yang dibuat para pihak, hukum
perdata nasional, masing-masing para pihak, hukum perdata internasional.
2. Hukum
ekonomi internasional "publik"
Para
pihak/pelaku hukum ekonomi internasional publik adalah Negara (state), International
Economic Organization (seperti IMF, World Bank, WTO, Asian Development
Bank, dan oragnisasi-organisasi ekonomi lainnya yang beranggotakan
negara-negara di dunia), Persoon (natuur atau recht person)
yang terkena dampak dan kebijakan ekonomi yang dibuat oleh negara dan international
economic organization.
WTO adalah
institusi kelanjutan dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Dalam
era GATT, sebuah “satuan perekonomian” yang tidak independen bisa menjadi
partisipan, asalkan mendapat dukungan/diusulkan
oleh pemegang kedaulatannya yang telah lebih dulu tergabung dalam
institusi tersebut. Indonesia menjadi
salah satu partisipan paling awal dari GATT karena disponsori oleh Belanda.
Hongkong, sebelum dikembalikan ke RRC, mendapat
posisi sebagai partisipan karena disponsori oleh Inggris. Dalam era WTO,
prinsip ini pun masih diperhatikan.
Taiwan baru mendapatkan keanggotaan pasca RRC resmi menyelesaikan aksesinya.
Pandangan mengenai syarat eksistensi negara telah berkembang. Ketiga unsur de
facto negara tersebut dilengkapi dengan adanya aktivitas ekonomi dan
perekonomian yang terorganisir, termasuk dalam hal ini mengeluarkan mata uang,
adanya kekuatan menjalankan rekayasa sosial, adanya sistem transportasi, adanya
kedaulatan, dan adanya pengakuan dari negara lain. Tak pelak, Taiwan hampir
mempunyai semua itu. Tetapi jika kedaulatan bermakna sebagai tidak adanya
negara lain yang berkuasa atasnya, maka dengan sendirinya eksistensi wilayah
Taiwan pun bermasalah karena RRC menyatakannya hanya sebagai salah satu
provinsinya. Hal ini melengkapi fakta bahwa Taiwan menjadi fenomena “negara
dalam negara” namun tidak dapat dianggap sebagai negara berdaulat.
Prinsip-prinsip fundamental mengenai
hubungan-hubungan ekonomi internasional ini adalah sebagai berikut:[5]
- §edaulatan integritas wilayah dan kemerdekaan politik negara-negara
- § Persamaan kedaulatan semua Negara
- § Non-agresi
- § Non-Intervensi
- § Saling memberi manfaat dan adil
- § Koeksistensi damai
- § Hak-hak sama dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat
- § Penyelesaian sengketa secara damai
- § Memperbaiki ketidakadilan yang diakibatkan oleh suatu negara
- § Melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional dengan Itikad baik.
- § Menghormati Hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental
- § Tidak mencari hegemony dan pengaruh kekuasaan
- § Memajukan keadilan sosial internasional
- § Kerjasama internasional untuk pembangunan
- § Akses bebas ke dan dari laut oleh negara-negara yang dikellingi oleh darat dalam ruang lingkup prinsip-prisnsip diatas.
Secara
singkat kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi (omnipotence) yang hanya dimiliki negara. negara karenanya disebut
juga sebagai subjek hukum internasional par
excellence dibandingkan dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya.
Kedaulatan digunakan untuk menggambarkan otonomi dan kekuasaan negara untuk
membuat aturan-aturan hukum (hukum nasional) yang berlaku di wilayahnya dan
membuat lembaga-lembaga negara. Dalam kedaulatan terefleksikan pula kekuasaan
negara untuk mengadakan hubungan internasional dan tindakan-tindakan lain
sebagai perwujudan dari kdaulatannya. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan pengertian
kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan
penting. Pertama, kekuasaan itu terbatas pada batas-batas wilayah negara yang
dimiliki kekuasaan itu. Kedua, kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu
negara lain mulai.[6] Kedaulatan ekonomi itu sendiri menurut Huala
Adolf adalah kekuasaan tertinggi suatu negara untuk mengatur kebijakan ekonomi
didalam wilayahnya ataupun kebijakan ekonomi internasionalnya. Sedangkan
pengertian kedaulatan ekonomi negara menurut Qoreshi adalah keseluruhan
kekuasaan ekonomi negara termasuk persamaan status dalam hubungan-hubungan
ekonomi internasional. Kekuasaan ekonomi negara lebih banyak berkenaan dengan
kekuasaan negara terhadap kekayaan (alamnya), sistem ekonomi dan aturan-aturan
perjanjian dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional. Sedangkan persamaan
status disini berkaitan erat dengan persamaan dan kemerdekaan negara, termasuk
dalam hak dan kewajibannya.[7]
Kedudukan
partisipasi negara-negara termasuk negara yang belum diakui, menurut Shearer dalam
keadaan-keadaan tertentu pengakuan dapat ditemukan dalam suatu perjanjian
internasional terhadap negara yang belum mendapatkan pengakuan, dengan demikian
pengakuan secara diam-diam dalam praktek hubungan internasional dimungkinkan
untuk dilakukan menurut norma hukum internasional bila adanya:[8]
1.
Partisipasi bersama dalam sebuah
perjanjian atau traktat multilateral.
2.
Partisipasi dalam sebuah konferensi
internasional.
3.
Inisiasi negosiasi-negosiasi antara
negara yang mengakui dan yang ingin diakui.
Sehingga dalam
menjalankankan suatu hubungan ekonomi internasional Indonesia dan Taiwan, suatu
perjanjian bilateral lah yang menjadi kekuatan hukum bagi kedua negara ini.
Sehingga pengakuan secara diam-diam atau pengakuan implisit ini tidak
mempengaruhi jalannya stabilitas ekonomi kedua negara tersebut. Menurut
Kementrian Luar Negeri, Marty Natalegawa, diplomasi ekonomi merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari diplomasi bilateral Indonesia. Upaya untuk
meningkatkan hubungan ekonomi di sektor perdagangan dan investasi dengan
negara-negara sahabat merupakan salah satu prioritas diplomasi Indonesia guna
mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional serta peningkatan
kesejahteraan rakyat. Pemerintah sendiri menjadikan target perdagangan sebagai
tolak ukur pencapaian diplomasi ekonomi dimaksud.
Kepentingan
ekonomi Indonesia di luar negeri sudah menjadi concern pemerintah sejak dulu. Dalam hubungan internasional setiap negara
saling ketergantungan antara negara yang satu dengan yang lain, diplomasi
ekonomi merupakan instrument yang sangat penting dan menjadi wilayah yang
paling banyak digeluti negara. suatu negara boleh saja tidak mengakui
keberadaan komunitas tertentu sebagai sebuah bangsa, seperti Indonesia yang
tidak mengakui Taiwan sebagai sebuah negara, namun hubungan ekonomi diantara
mereka berlangsung sangat baik dan saling menguntungkan.
2.
Kebijakan One China Policy dan Implikasinya
Terhadap Hubungan Kerjasama Perekonomian dan Perdagangan Antara Indonesia dan
Taiwan
Belum
diakuinya Taiwan sebagai sebuah Negara oleh sebagian besar Negara lain di dunia
merupakan kendala besar bagi Taiwan untuk menjalin hubungan diplomatik dan
hubungan kerjasama yang lebih luas. Bahkan, PBB sebagai suatu organisasi
Internasional yang menaungi seluruh Negara tidak mengakui Taiwan sebagai
anggotanya. Hal ini membuat banyak Negara di berbagai belahan dunia hanya
melakukan hubungan kerjasama dalam perdagangan, perekonomian, dan ketenaga
kerjaan dengan Taiwan termasuk Indonesia. Indonesia sendiri telah memiliki
hubungan kerjasama dengan Taiwan sejak tahun 1960. Namun Indonesia selalu
berpegang teguh dengan prinsip One China Policy atau kebijakan satu
China, dimana Indonesia mengakui Taiwan sebagai bagian dari RRC (Republik
Rakyat Cina). Artinya, secara de jure Indonesia hanya menjalin hubungan
diplomatik dengan Republik Rakyat China (RRC). Indonesia tidak mengakui Taiwan
sebagai sebuah Negara yang berdaulat dan merdeka dari China. Namun bukan
berarti antara Indonesia dan Taiwan tidak terjalin hubungan kerjasama. Hubungan
antara Indonesia dengan Taiwan hanya sebatas hubungan kerjasama perdagangan dan
ekonomi. Hal ini dikarenakan Indonesia ingin tetap menjalin hubungan yang baik
dengan pemerintah RRC baik hubungan diplomatik maupun hubungan kerjasama
ekonomi.
Penerapan
kebijakan luar negeri One China Policy
merupakan langkah wajib yang tidak main main untuk selalu menjaga hubungan baik
dengan pemerintahan RRC. Sejak kepemimpinan Taiwan beralih kepada Chen Shui
Bien pada tahun 2000, hubungan antara Indonesia dan Taiwan tidak sebaik pada masa
koumintang berkuasa. Menurunnya hubungan secara drastic ini lebih kepada
perilaku dan sikap Taiwan yang berada pada dilemma antara persoalan geopolitik
dan geoekonomi. Keseluruhan perilaku Taiwan berubah dengan menggunakan ancaman
ekonomi untuk memperoleh keuntungan diplomasi. Gagalnya kunjungan pemimpin
Taiwan Chen Sui Bien untuk maksud bisnis pada bulan desember tahun 2002 membuat
pemerintahan Taiwan berencana melakukian Boikot Ekonomi dan Indonesia
dikeluarkan dari daftar Negara tujuan investasi Taiwan. Tetapi hal semacam ini
sangat sulit dilakukan dan mungkin hanya sebatas wacana dikarenakan sudah
terlalu kuatnya pengaruh perekonomian Indonesia terhadap Taiwan. Banyaknya
Kerjasama dan Investasi di segala bidang diantara kedua Negara menyebabkan hal semacam
itu sangat sulit untuk dilakukan Taiwan dalam rangka memnggoyahkan kebijakan
luar negri yang dianut Indonesia yaitu kebijakan satu China atau lebih dikenal One China Policy.
Situasi
geopolitik diantara Indonesia dan Taiwan sebenarnya tidak berpengaruh
signifikan terhadap pertambahan dan pengurangan volume perdagangan dan
investasi Taiwan di Indonesia. Indonesia dengan potensinya baik potensi sumber
daya alam maupun potensi sumber daya manusia berupa tenaga kerja masih menjadi
sasaran kebijakan investasi Taiwan di kawasan Asia Tenggara. Namun, karena
ketidaksiapan dalam berbagai hal penting seperti stabilitas, iklim investasi
yang tidak memadai, minimnya kemudahan dan kelonggaran aturan investasi membuat
kebijakan tersebut berjalan tidak secara penuh. Kerjasama perdagangan
perekonomian dan investasi antara Indonesia dan Taiwan mencatat kenaikan dari
tahun ke tahun. Volume perdagangan Indonesia dan Taiwan meningkat dari 3,09
milliar dolar AS pada tahun 2004 menjadi 3,81 milliar dolar AS pada tahun 2005.
Nilai investasi Taiwan juga mencapai lebih dari 12,98 triliun dolar amerika
serikat (data tahum 2004). Data tersebut menempatkan Taiwan sebagai partner
perdagangan 10 teratas sekaligus sebagai salah satu penyumbang investasi asing
yang cukup besar bagi Indonesia.
Kedudukan
strategis Taiwan juga didukung dengan seringnya warga Taiwan berkunjung ke
Indonesia dalam rangka berlibur sekitar tigaratus ribu orang pertahun. Hubungan
ekonomi Indonesia Taiwan seharusnya tidak cukup high politics untuk menggangu hubungan bilateral antara Indonesia
dan RRC. RRC sendiri memiliki hubungan perekonomian yan mengakar dengan Taiwan.
Pada tahun 2005 volume perdagangan antara China dengan Taiwan mencapai 91,2
miiar dollar AS dan menempatkan Taiwan sebagai partner dagang ketujuh teratas
bagi China. Bagi China, Taiwan merupakan pasar ekspor yang besar. Di bidang
investasi, sekitar 3000 an proyek dengn nilai kontrak yang cukup besar yaitu
10,36 miliar dolar AS yang tercatat sebagai proyek investasi Taiwan di
mainland. Dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi RRC, diperkirakan hubungan
investasi anatr keduanya semakin meningkat. Sesungguhnya, China berada di
posisi yang sangat dilematis karena selain usahanya untuk menentang keberadaan
Taiwan sebgaai suatu Negara yang merdeka dengan selalu melaksanakan politik
satu china kepada Negara Negara lain di dunia, Taiwan juga merupakan pasar
ekspor dan mantra dagang yang cukup diperhitungkan oleh China.[9]
Hubungan
kerjasama perekonomian diantara Indonesia dan Taiwan sangat tidak terganggu
dengan adanya kebijakan luar negeri satu China yang dianut oleh Indonesia.
Indonesia masih menjadikan Taiwan sebagai negara partner kerjasama perdagangan
yang sangat baik. Selain bidang perekonomian yang sebagaimana telah disebutkan
diatas, masih banyak kerjasama dalam bidang lain yang terjalin antara
pemerintah Indonesia dan Taiwan. Salah satu bidang yang juga menguntungkan bagi
kedua belah pihak negara yaitu kerjasama dalam bidang ketenagakerjaan.
Saat ini
resmi tercatat lebih dari 120 ribu orang indonesia yang bekerja di berbagai
sektor di Taiwan. Mereka yang bekerja di Taiwan ikut berperan penting dalam
pertumbuhan perekonomian Taiwan. Para pahlawan devisa negara tersebut diakui
banyak diperlukan di Taiwan. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya
jumlah tenaga kerja Indonesia yang diberangkatkan di Taiwan dari tahun ke
tahun. Mereka biasanya bekerja didalam bidang perindustrian dan jasa seperti
buruh dan pelayan. Taiwan juga merupakan salah satu investor besar dari Asia di
Indonesia. Dalam berbagai pertemuan dengan pihak Taiwan, Pihak indonesia fokus
menawarkan tiga sektor untuk dikembangkan yakni infrastruktur, agribisnis dan
juga energi. Saat ini, Taiwan mampu bersaing dengan negara negara maju termasuk
di bidang teknologi komunikasi dan produk produknya. Hal ini dibuktikan dengan
tingginya tingkat ekspor produk produk unggulan Taiwan ke Indonesia. Produk
produk IT Taiwan seperti ponsel, komputer dan laptop unggulan mereka sudah
banyak sekali dipasarkan di Indonesia. Selain itu juga banyak sekali produk produk
berupa mesin industri diekspor ke Indonesia.
Selain itu,
Taiwan juga menjalin kerjasama dengan Indonesia dalam bidang kepariwisataan.
Sampai sejauh ini, banyak warga Taiwan yang berkunjung dan berlibur ke
Indonesia. Salah satu tujuan faforit mereka adalah pulau Bali. Banyak juga warga
negara Indonesia yang berkunjung ke Taiwan untuk berlibur. Hal ini tentu
membuat devisa kedua negara bertambah. Dalam bidang pendidikan, banyak sekali
kalangan pelajar dari berbagai daerah di Indonesia yang saat ini tengah
melanjutkan pendidikan di beberapa perguruan tinggi di Taipei yang merupakan
ibukota Taiwan. Pemerintah Taiwan selalu mengundang para pelajar dan mahasiswa
Indonesia untuk melanjutkan pendidikan baik untukbelajar bahasa Mandarin,
Teknologi atau bahkan yang ingin mengambil gelar doktoral dalam berbagai bidang
disana. Sekitar seribu pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di Taiwan
dan jumlahnya selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dengan kondisi
seperti ini, secara prinsip kerjasama diantara pemerintah Indonesia dan Taiwan
di bidang ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, pendidikan serta
kepariwisataan tidak akan terpengaruh dengan persoalan politik diantara kedua
negara.[10]
Kebijakan
luar negri One China Policy tidak
menjadi kendala bagi pengembangan hubungan kerjasama perekonomian dan
perdagangan antara Indonesia dan Taiwan. Pemerintah Indonesia memang harus
tetap berupaya mempertahankan politik luar negri yang bebas aktif secara
konsisten dan pemerintah dituntut untuk melaksanakan politik luar negri yang
selues mungkin tanpa mengabaikan kepentingan nasional yang dimilki oleh
Indonesia termasuk dalam berhubungan dengan Taiwan.
KESIMPULAN
1.
Perkembangan hubungan ekonomi
Indonesia-Taiwan saat ini berjalan sangat baik ditandai dengan banyaknya
kerjasama yang saling menguntungkan diantara keduanya. Hal ini dapat dibuktikan
dengan fakta bahwa Taiwan merupakan 10 negara teratas yang menjadi mitra dagang
bagi Indonesia. Indonesia tidak melakukan hubungan politik kepada Taiwan
melainkan hanya hubungan perekonomian.
2.
Kebijakan One China Policy tidak berpengaruh terhadap hubungan kerjasama
perekonomian dan perdagangan antara Indonesia dan Taiwan. Karena politik luar
negeri pada dasarnya adalah perjuangan kepentingan nasional sebuah negara di pentas
internasional sesuai prinsip-prinsip hukum internasional. Dengan pertumbuhan
ekonomi yang baik secara serta-merta kesejahteraan masyarakat Indonesia pun
membaik. Indonesia tetap berpegang teguh pada One China Policy (kebijakan satu
cina) dengan tidak membuka hubungan diplomatik kepada Taiwan. Sehingga antara
Indonesia dan Taiwan hanya terjalin hubungan perekonomian dan perdagangan.
[1] Sefriani, Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2010 hlm 187
[2] Jawahir Thontowi dan Pranoto
Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,
Refika Aditama, Yogyakarta, 2006, hlm. 134
[3] Ibid, hlm. 135
[4] http://hi.umy.ac.id/menelisik-kedaulatan-taiwan/
[5] Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Rajawali
Pers, Jakarta, 2005, hlm. 202
[6] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,
Binacipta, Bandung, 1976, hlm.17
[7] Huala Adolf, op.cit, hlm. 246
[8] Jawahir Thontowi, op.cit, hlm. 136
[9]
http://www.antaranews.com/berita/1270121027/hubungan-ri-taiwan-tak-terkendala-masalah-politik
[10]
http://www.neraca.co.id/harian/article/20265/IndonesiaTaiwan.Perkuat.Kerjasama.dan.Investasi
makasih infonya
BalasHapusBermanfaat, penyampainnya mudah dipahami, terima kasih ^^
BalasHapusBermanfaat, penyampainnya mudah dipahami, terima kasih ^^
BalasHapusartikel hipwee tentang kebijakan one china policy brings me to this awesome artikel !...
BalasHapussangat bermanfaat,,, langsung tercerahkan secara garis besar tentang kebijakan tersebut...
terima kasih
sangat jelas
BalasHapus