Kamis, 01 Maret 2012

Samudera Hindia dan IOR-ARC

Samudra Hindia adalah kumpulan air terbesar ketiga di dunia, meliputi sekitar 20% permukaan air Bumi. Di utara dibatasi oleh selatan Asia, di barat oleh Jazirah Arabia dan Afrika, di timur oleh Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, dan Australia, di selatan oleh Antartika. Samudra ini dipisahkan dengan Samudra Atlantik oleh 20° timur meridian, dan dengan Samudra Pasifik oleh 147° timur meridian.
Luas Samudra Hindia mencapai ± 73.481.000 km² dengan kedalaman rata-rata 3.850 m. Samudra ini terletak di sebelah Selatan Benua Asia, sebelah Barat Australia, sebelah Timur dan Selatan Afrika, serta berbatasan dengan Kutub Selatan. Berikut ini karakteristik Samudra Hindia.
*      Sebagian besar wilayahnya berada di belahan bumi Selatan.
*      Satu-satunya samudra yang seluruh wilayahnya berada di belahan bumi Timur.
*      Wilayah perairannya berfungsi sebagai penyedia air hujan bagi gejala alam angin monsun untuk sebagian wilayah Asia dan Australia.
*      Samudra Hindia memiliki arus yang relatif tenang dan jarang terjadi badai.
*      Samudra Hindia memiliki beberapa palung laut, seperti Palung Jawa (7.450 m), Palung Weber (7.440 m), dan Palung Diamantina (7.102 m).
Negara-negara yang berada disekitar samudera hindia diantaranya adalah : Australia, Afrika Selatan, Bangladesh, India, Iran, Indonesia, Kenya, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Mozambique, Oman, Singapura, Sri Lanka, Tanzania, Thailand, Uni Emirat Arab, dan Yaman.
Negara-negara disekitar kawasan samudera hindia membuat suatu organisasi yaitu Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation (IOR-ARC). Organisasi ini merupakan satu-satunya organisasi regional yang menggandeng negara-negara di sepanjang wilayah samudera hindia.
Anggota dari IOR-ARC :
Australia
Bangladesh
India
Indonesia


Kenya
Madagaskar
Malaysia
Mauritius
Mozambique
Oman
Singapura
Afrika Selatan
Sri Lanka
Tanzania
Thailand
Iran
Uni Emirat Arab
Yaman


Mitra wicara :
Mesir
Prancis
Jepang
Cina
Inggris

            IOR-ARC bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi dalam kawasan. Kerjasama dalam kerangka ini dikembangkan dalam tiga jalur utama yaitu:
ü  Akademisi melalui forum IOR-Academic Group (IORAG),
ü  Pengusaha melalui IOR-Business Forum (IOR-BF) dan
ü  Jalur kegiatan perdagangan dan investasi melalui Working Group on Trade and Investment (WGTI).
Potensi yang ada di kawasan samudera hindia diantaranya adalah potensi sumber daya ikan Albakora yaitu sebesar 3.987.000 ton per tahun. Disusul oleh jenis ikan Tuna Sirip Biru (84.000 ton), Cakalang (21.000 ton), Tuna Mata Besar (13.000 ton) dan Madidihiang (10.000 ton). Selain itu kawasan samudera hindia juga merupakan incaran para turis domestik maupun mancanegara untuk melakukan surfing di kawasan ini. Samudera hindia juga dapat dikatakan sebagai percaturan politik regional, karena samudera hindia sebagai lalu lintas perdagangan internasional, seperti contohnya cina membutuhkan minyak dari timur tengah pasti melalui samudera hindia. Tantangan yang berada di samudera hindia adalah gempa yang mengakibatkan tsunami, untuk mengantisipasi maka negara di sekeliling kawasan samudera hindia sedang membangun Indian Ocean Tsunami Warning System (IOTWS) yang akan berpusat di Indonesia.

KESIMPULAN
Samudera hindia terletak tepat berhadapan langsung dengan Indonesia khususnya sumatera, dari potensi-potensi kawasan samudera hindia yang sudah disebutkan sepatutnya Indonesia dapat memanfaatkan potensi-potensi tersebut, contohnya gelombang air laut di samudera hindia cukup tinggi dan gelombang tersebut sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi dan arus lautnya yang kuat dapat dimanfaatkan sebagai tenaga pembangkit listrik, di luar negeri sudah ada yang menggunakan teknologi ini.
Pentingnya posisi strategis Samudera Hindia dan semakin kompleksnya perkembangan yang terjadi bagi negara-negara kawasan, baik dari aspek ekonomi, politik, maupun pertahanan dan keamanan, telah mendorong Indonesia untuk lebih meningkatkan pengelolaan Samudera Hindia secara berkesinambungan dengan pendekatan ocean governance. Yaitu pendekatan yang menyeluruh (holistic approach) meliputi pendekatan ekonomi, politik dan keamanan, lingkungan, benefit sharing, riset serta ocean regime, termasuk peaceful dispute settlement.
Tujuan dari implementasi ocean governance antara lain adalah untuk menerapkan kebijakan dan program di tingkat nasional, regional maupun internasional, sehingga dengan demikian bias dihasilkan sebuah action plan yang efektif bagi pengelolaan laut secara berkelanjutan.   
Indonesia berada pada posisi yang sangat strategis. Secara geografis, berada di antara dua benua Asia dan Australia merupakan potensi ekonomi yang sangat luar biasa, demikian pula berada diantara dua samudera Hindia dan Pasifik yang juga menjadi pertemuan antara arus panas dan arus dingin membuat laut Indonesia kaya akan aneka ragam ikan. Pemerintah diminta membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengurusi perikanan, untuk menggarap secara maksimal kekayaan perairan Indonesia yang sekarang dinilai banyak dinikmati asing. Permintaan itu disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Mursyid, mengingat masih maraknya praktek pencurian ikan oleh kapal asing di perairan Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Dr.Hasjim Djalal sebagai pakar hukum kelautan “Zona ekonomi itu ikannya milik kita tapi dicolong orang, kewenangan kita di zona ekonomi antara lain melakukan pemeliharaan lingkungan ekonomi laut, itu hak kita untuk mengawasai tapi kalau tidak kita awasai dikotori orang kalau dikotori disana akan rusak”. Terbatasnya peralatan modern yang dimiliki pelaku sektor perikanan di Indonesia, membuat kekayaan laut belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Ironinya ketertinggalan ini dimanfaatkan nelayan-nelayan asing untuk mencuri ikan di perairan Indonesia. Seperti yang kerap terjadi di Samudera Hindia, yang masuk wilayah perairan Aceh. Kawasan ini sudah menjadi lahan empuk untuk meraup ikan bagi kapal-kapal asing, khususnya yang berbendera Thailand.
Masalah ilegal fishing diakui juga banyak terjadi di perairan Provinsi lain di Indonesia. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) memperkirakan Negara berpotensi mengalami kerugian hingga Rp20 triliun setiap tahun akibat maraknya praktek ilegal fishing.
Mursyid mengatakan kekayaan alam di darat seperti pertambangan dan perkebunan saat ini masing-masing sudah ada BUMN yang memanfaatkan, sementara belum ada perusahaan Negara yang menggarap perikanan. Padahal perikanan bisa dijadikan sebagai komoditas bernilai tinggi dan andalan ekspor untuk meningkatkan pendapatan Negara serta membuka lapangan kerja dan menambah kesejahteraan rakyat.
Tsunami merupakan bencana alam yang tidak dapat disepelekan, karena banyak memakan korban. Terutama di wilayah samudera hindia, maka Indonesia sepatutnya mencontoh jepang yang memiliki berbagai macam organisasi yang menangani bencana alam yaitu : Japan Metorological Agency (JMA), Geology Survey Japan (GSJ) dan Earth Remote Sensing Data Analysis Center (ERSDAC). Sebuah perusahaan kecil di Jepang juga telah mengembangkan sebuah versi modern miniatur dari Bahtera Nuh dalam kasus Jepang dilanda gempa besar dan tsunami. Sebuah kapsul mengambang yang terlihat seperti bola tenis besar. Japan's Cosmo Power mengatakan "Nuh" penampungan terbuat dari fiberglass yang disempurnakan yang dapat menyimpan pengguna dari bencana seperti yang pada tanggal 11 Maret yang terjadi di pantai utara Jepang, yang meninggalkan korban hampir 20.000 orang tewas atau hilang.
Demikian banyaknya potensi yang dapat kita manfaatkan di samudera hindia yang di anugrahi banyak potensi kelautan, sehingga selayaknya Indonesia menjadi negara maju dan makmur karena disekelilingi oleh berbagai sumber kekayaan alam. Tetapi faktanya negara-negara yang berada di sekitar kawasan samudera hindia sebagian besar adalah negara-negara berkembang yang belum memiliki teknologi kemampuan yang canggih selayaknya negara-negara maju.

Hukum Perdata : Perkawinan dan Hukum Benda ☻

LATAR BELAKANG
Hukum perdata menurut Prof. R. Subekti, SH., adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Selanjutnya Prof.Dr. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, SH., menyebutkan bahwa yang dimaksud hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain. Sedangkan Riduan Syahrani menyimpulkan bahwa hukum perdata ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat yang menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan (pribadi).[1]
Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Hukum perdata Belanda sendiri disatur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.
Hukum perdata menurut ilmu pengetahuan lazimnya dibagi dalam 4  bagian yaitu :[2]
1.      Hukum perorangan/badan pribadi (personenrecht)
Hukum perorangan/badan pribadi memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum), tentang umur, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, tempat tinggal (domisili) dan sebagainya.
2.      Hukum keluarga (familierecht)
Hukum keluarga memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga/kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian, hubungan orang tua dan anak, perwalian, curatele, dan sebagainya.
3.      Hukum harta kekayaan (vermogenrecht)
Hukum harta kekayaan memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian, milik, gadai dan sebagainya.
4.      Hukum waris (efrecht)
Hukum waris memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup (ahli warisnya).
Hukum perdata di Indonesia sampai saat ini masih beranekaragam (pluralist). Masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdata sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi. Sumber hukum perdata di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dalam bahasa belanda disebut dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan BW.  Sistematik hukum perdata menurut undang-undang yaitu susunan hukum perdata sebagaimana termuat dalam BW yang terdiri dari 4 (empat) buku :[3]
1.      Buku I    : tentang orang (van personen)
2.      Buku II   : tentang benda (van zaken)
3.      Buku III  : tentang perikatan (van verbintenissen)
4.      Buku IV  : tentang pembuktian dan daluarsa (van bewijs en verjaring)
Menteri Kehakiman RI pada Tahun 1962, Sahardjo, S.H., memunculkan suatu gagasan yang diajukan dalam rapat kerja Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bulan Mei 1962 menyarankan bahwa: “khusus KUHPerdata tidak lagi sebagai undang-undang, melainkan sebagai dokumen saja yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis”. Selanjutnya gagasan Sahardjo, S.H. tersebut dikemukakan lagi dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962 melalui prasaran Mr. Wirjono Prodjodikoro dengan judul; “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”, di mana isi prasaran tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikuit :[4]
1.      Mempertanyakan “ masih pada tempatnyakah untuk memandang BW sejajar dengan suatu undang-undang yang secara resmi berlaku di Indonesia?, mengingat negara Indonesia adalah negara merdeka.
2.      Gagasan Sahardjo, S.H., yang menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang tetapi hanya sebagai dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis saja, adalah sangat menarik. Artinya dengan menganggapnya sebagai dokumen, para hakim akan lebih leluasa untuk mengenyampingkan pasal-pasal BW yang tidak sesuai lagi dengan zaman kemerdekaan Indonesia;
3.      Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman saja, maka demi kepentingan hukum dia perlu secara tegas dicabut, Pencabutannya tidak dengan undang-undang, melainkan dengan suatu pernyataan Pemerintah atau dari Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung menyetujui gagasan tersebut dan sebagai konsekuensinya Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tentang gagasan menganggap Burgelijk Wetboek tidak sebagai undang-undang.[5]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan , bahwa secara yuridis formil kedudukan BW tetap sebagai undang-undang sebab BW tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai undang-undang. Namun, pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang bulat dan utuh seperti keadaan semula saat diundangkan.Beberapa bagian daripadanya sudah tidak berlaku lagi, baik karena ada suatu peraturan perundang-undangan yang baru dalam lapangan hukum perdata yang menggantikannya, maupun karena disingkirkan dan mati oleh putusan-putusan hakim yang merupakan yurisprudensi karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang sudah sangat jauh berubah dibandingkan dengan keadaan masyarakat pada saat BW dikodifikasikan.[6]




PEMBAHASAN
A.    Hukum Keluarga
Hukum keluarga adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga/kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian, hubungan orang tua dan anak, perwalian, curatele, dan sebagainya.[7]
Perkawinan sebagaimana disebutkan didalam pasal 1 (satu) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
1.      Larangan Perkawinan
Hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada Pasal 8 adalah sebagai berikut :
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a.       berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau pun keatas;
b.      berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c.       berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d.      berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e.       berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f.       mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 disebutkan larangan perkawinan jika mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Jadi larangan kawin dalam Undang-Undang ini bertambah dengan larangan-larangan menurut hukum agama atau peraturan lain tersebut. Seorang pria yang masih terikat tali perkawinan dengan perkawinan yang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali memenuhi syarat untuk melakukan poligami, hal ini diatur juga dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan. Syarat-syarat poligami itu sendiri meenurut Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan adalah :
a.       isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.      isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.       isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
 Begitu juga apabila suami dan isteri yang telah bercerai kemudian kawin lagi, dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi. Hal ini termuat dalam Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan : “Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”.
Bagi seorang istri yang perkawinanya telah putus, baik karena kematian maupaun perceraian, maka terhadapnya berlaku jangka waktu tunggu (masa idah). Bila perkawinan putus karena kematian, maka jangka waktu tunggunya 130 hari sejak kematian, sedang jangku waktu tunggu karena perceraian adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari (sejak putusan perceraian) dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari. Untuk wanita yang sedang mengandung, maka baginya berlaku jangka waktu tunggu sampai ia melahirkan.[8]
2.      Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”, syarat yang dimaksud adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
  1. Pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1) yaitu mengenai batasan umur untuk dapat melangsungkan perkawinan. Apabila calon mempelai tidak (belum) memenuhi umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut, maka perkawinan itu dapat dicegah untuk dilaksanakan. Jadi perkawinan ditangguhkan pelaksanaannya sampai umur calon mempelai memenuhi umur yang ditetapkan undang-undang.
  2. Melanggar pasal 8, yaitu mengenai larangan perkawinan. Misalnya saja antara kedua calon mempelai tersebut satu sama lain mempunyai hubungan darah dalam satu garis keturunan baik ke bawah, ke samping, ke atas berhubungan darah semenda, satu susuan ataupun oleh agama yang dianutnya dilarang untuk melangsungkan perkawinan.
Dalam hal ini perkawinan dapat ditangguhkan pelaksanaannya bahkan dapat dicegahkan pelaksanaannya untuk selama-lamanya misalnya perkawinan yang akan dilakukan oleh kakak-adik, bapak dengan anak kandung dan lain-lain.
  1. Pelanggaran terhadap pasal 9 yaitu mengenai seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali apabila memenuhi pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 tentang syarat-syarat untuk seorang suami yang diperbolehkan berpoligami.
  2. Pelanggaran terhadap pasal 10 yaitu larangan bagi suami atau istri yang telah kawin cerai dua kali tidak boleh melangsungkan perkawinan untuk ketiga kalinya sepanjang menurut agamanya (hukum) mengatur lain.
  3. Pelanggaran terhadap pasal 12 yaitu melanggar syarat formal untuk melaksanakan perkawinan yaitu tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan yaitu dimulai dengan pemberitahuan, penelitian dan pengumuman (lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).
 Orang-orang yang dapat mencegah perkawinan adalah : [9]
  1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari salah seorang calon mempelai.
  2. Saudara dari salah seorang calon mempelai.
  3. Wali nikah dari salah seorang calon mempelai.
  4. Wali dari salah seorang calon mempelai.
  5. Pengampu dari salah seorang calon mempelai
  6. Pihak-pihak yang berkepentingan.
  7. Suami dan isteri dari salah seorang calon mempelai.
  8. Pejabat yang ditunjuk.
Adapun mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak yang akan melakukan pencegahan adalah pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan itu akan dilangsungkan dan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. Kemudian Pegawai Pencatat Perkawinan memberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan termaksud kepada calon mempelai.[10]
3.      Pembatalan Perkawinan[11]
Seperti halnya pencegahan, pembatalan perkawinan juga terjadi apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 22).
Syarat-syarat yang tidak dipenuhi dimuat dalam Pasal 26 ayat (1) yaitu:
  1. Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang.
  2. Dilakukan oleh wali nikah yang tidak sah.
  3. Tidak dihadiri oleh dua orang saksi.
Ketentuan Pasal 26 ayat (1) tersebut di atas dapat digugurkan pembatalannya apabila suami/istri yang mengajukan pembatalan tersebut sudah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang cacat hukum tersebut supaya perkawinan itu dapat diperbaharui menjadi sah.
Berdasarkan Pasal 23, pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh:
  1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami/istri.
  2. Suami atau istri.
  3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
  4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Seorang suami/istri dapat juga mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila:
  1. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
  2. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri
Pembatalan suatu perkawinan dimulai setelah adanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Pembatalan perkawinan terjadi setelah perkawinan dilangsungkan sedang akibat hukum dari adanya pembatalan perkawinan adalah:
  1. Perkawinan itu dapat dibatalkan
  2. Perkawinan dapat batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak ada perkawinan, misalnya suatu perkawinan yang dilangsungkan di mana antara suami istri itu mempunyai hubungan darah menurut garis keturunan ke atas atau ke bawah ataupun satu susuan.
Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
  1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
  2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
  3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam point 1 dan 2 sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
4.      Akibat Perkawinan[12]
Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
a.    Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri
  1. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
  2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat 1).
  3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal ayat 2).
  4. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
  5. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
  6. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.
  7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
  8. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
b.    Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
  1. Timbul harta bawaan dan harta bersama.
  2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun.
  3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).
c.    Akibat Perkawinan Terhadap Anak
1.      Kedudukan anak
*      Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)
*      Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/ 2010 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengubah pasal 43 UU Perkawinan menjadi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
2.      Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
*      Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).
*      Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
*      Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).
3.      Kekuasaan orang tua
*      Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua.
*      Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
*      Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
*      Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin
*      Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila:
ü  Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak
ü  Ia berkelakuan buruk sekali

*      Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Isi kekuasaan orang tua adalah:
*      Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya.
*      Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hukum di dalam maupun di luar pengadilan.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya.
Kekuasaan orang tua berakhir apabila:
·         Anak itu dewasa
·         Anak itu kawin
·         Kekuasaan orang tua dicabut
5.      Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya
  Pasal 38 UU No. I/1974 menyebutkan putusnya perkawinan dapat disebabkan karena:
  1. Kematian
  2. Perceraian
  3. Atas keputusan pengadilan
Perkawinan putus akibat kematian dari salah seorang suami/istri, jika yang ditinggalkan adalah istri, maka isri tesbut (janda) dapat menikah kembali setelah lewat masa tunggu, yaitu 130 hari sejak kematian suami. Perceraian biasa disebut “cerai talak” dan atas keputusan pengadilan disebut “cerai gugat”. Cerai talak perceraian yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya yang perkawinannya dilaksanakan menurut agama islam (Pasal 14 PP No. 9/1975). Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang istri yang melakukan perkawinan menurut agama islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam (penjelasan Pasal 20 ayat (1) PP No. 9/1975). Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan (Pasal 39 ayat (1) PP No. 9/1975). Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dapat terjadi misalnya karena ada tuntutan ke pengadilan dari pihak ketiga yang menghendaki putusnya perkawinan tersebut, yaitu misalnya pihak keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang pasangan suami istri, atau suami/istri yang masih terikat dengan suatu perkawinan.
    alasan-alasan Perceraian
Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilaksanakan apabila memenuhi salah satu syarat di bawah ini, yaitu:
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah :[13]
ü  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
ü  Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
ü  Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang libel berat setelah perkawinan berlangsung.
ü  Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan berat yang mernbahayakan terhadap pihak yang lain.
ü  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
ü  Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
      Akibat Perceraian
seperti halnya perkawinan, perceraian juga membawa akibat kepada:
Akibat perceraian pada anak dan istri
1.      Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan member keputusannya.
2.      Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul niaya tersebut .
3.      Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No. 1/1974).
Akibat perceraian pada harta kekyaan
Akibat perceraian terhadap harta kekayaan, apabila terjadi perceraian, harta bawaan masing-masing tetap dikuasai dan menjadi hak masing-masing. Harta bersama apabila terjadi perceraian diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 UU No. 1/1974).
 Akibat perceraian terhadap status para pihak :
1.      Kedua belah pihak tidak terikat lagi dalam tali perkawinan dengan status duda atau janda
2.      Keduanya boleh melakukan perkawinan dengan pihak lain. Khusunya untuk istri berlaku waktu tunggu (Pasal 39 PP 9/1975).
3.      Keduanya boleh melakukan perkawinan lagi sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang atau agama yang mereka anut.
6.      Perwalian [14]
Perwalian (Voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali-ibu (moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd. Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang (Wettelijke Voogdij).
Seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada dibawah perwalian orang tua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatanya (datieve voogdij). Tetapi ada juga kemungkinan, seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya (testamen) mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian menurut Wasiat (tertamentair voogdij).
Menurut ketentuan UU No.1 tahun 1974 Pasal 50 disebutkan :
  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
  2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
  3. Syarat-syarat Perwalian
Pasal 53 UU No.1 tahun 1974 menyebutkan wali dapat dicabut dari kekuasaannya , dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini, yaitu dalam hal :
  1. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut.
  2. Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
Terdapat perbedaan pengaturan tentang perwalian menurut UU No.1 tahun 1974 dan KUHPerdata, Dimana menurut KUHPerdata anak-anak yang menerima perwalian adalah anak-anak yang belum berumur 21 tahun atau belum kawin (pasal 330 ayat 3 KUHPerdata) sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974 yang menerima perwalian adalah anak-anak yang belum mecapai umur 18 tahun atau belum kawin (pasal 50 ayat 1).
Dalam hal pengangkatan wali didalam KUHPerdata ada dibedakan tiga jenis perwalian, yaitu :
ü  Perwalian dari suami atau isteri yang hidup lebih lama(pasal 345-354).
ü  Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan wasiat atau akta tersendiri (pasal 355 ayat 1).
ü  Perwalian yang diangkat oleh hakim (pasal 359).
Sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan: Perwalian hanya ada karena penunjukan oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan sebagai orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi (pasal 51 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974). Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan, untuk orang yang beragama Islam saat ini yang kita pakai sebagai undang-undang di Indonesia adalah ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata khusus dipergunakan hanya sebagai pedoman hukum bukan sebagai undang-undang (asas Lex Spesialis Derogat Lex  Generalis)
B.     Hukum Benda[15]
1.      Pengertian, Pengaturan dan Azas-Azas Hukum Benda
Hukum benda yang termuat dalam Buku II BW Pasal 499-1232 adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan benda. Pengertian benda (zaak) secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat menjadi obyek hak milik (Pasal 499 BW). Dalam sistem hukum perdata barat (BW) pengertian zaak (benda) sebagai obyek hukum tidak hanya meliputi benda yang berwujud, yang dapat ditangkap dengan pancaindera, tetapi juga benda yang tidak berwujud yakni hak-hak atas benda yang berwujud. Selanjutnya istilah zaak dalam BW tidak selalu berarti benda, tetapi juga dipakai dalam arti yang lain. Dalam Pasal 1792 BW zaak mempunyai arti perbuatan hukum, dalam Pasal 1354 BW zaak berarti kepentingan, dan pada Pasal 1263 BW zaak bearti kenyataan hukum.
Terdapat beberapa azas dalam hukum benda yaitu : [16]
• Azas Hukum Memaksa
Aturan yang berlaku menurut undang-undang wajib dipatuhi atau tidak boleh disimpangi oleh para pihak.
• Azas Dapat dipindah tangankan
Semua hak kebendaan dapat dipindah tangankan. Menurut perdata barat, tidak semua dapat dipindahkan (seperti hak pakai dan hak mendiami) tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), semua hak kebendaan dapat dipindahtangankan.
• Azas Individualitas
Hak kebendaan selalu benda yang dapat ditentukan secara individu, artinya berwujud dan merupakan satu kesatuan bukan benda yang ditentukan menurut jenis jumlahnya, misalnya memiliki rumah, hewan,dll.
• Azas Totalitas
Dalam asas totalitas ini mencakup suatu asas perlekatan. Seseorang memiliki sebuah rumah, maka otomatis dia adalah pemilik jendela, pintu, kunci, gerbang, dan benda-benda lainnya yang menjadi pelengkap dari benda pokoknya (tanah)
• Azas Tak Dapat Dipisahkan
Seorang pemilik tidak dapat memindahtangankan sebagian dari wewenang yang ada padanya atas suatu hak kebendaan seperti memindahkan sebagian penguasaan atas sebuah rumah kepada orang lain. Penguasaan atas rumah harus utuh, karena itu pemindahannya juga harus utuh.
Tetapi, Eigendom (hak milik) dapat dibebani dengan hak lain seperti hak tanggungan atau hak memungut hasil. Jika hak-hak tersebut dilepaskan, hal ini tidak berarti pemilik melepaskan sebagian wewenangnya, karena hak miliknya masih utuh.
• Azas Prioritas
Asas ini timbul sebagai akibat dari asas nemoplus yaitu azas yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat memberikan hak yang tidak melebihi apa yang dimilikinya atau seseorang tidak dapat memindahkan haknya kepada orang lain lebih besar pada hak yang ada pada dirinya.
• Asas Percampuran
Apabila hak yang membebani dan yang dibebani itu terkumpul dalam satu tangan , maka hak yang membebani itu lenyap (pasal 706, 718, 724, 736, 807 KUHPdt).
• Pengaturan dan Perlakuan yang Berbeda Terhadap Benda Bergerak dan Tidak Bergerak
Pengaturan dan perlakuan dapat disimpulkan dari cara membedakan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak serta manfaat atau pentingnya pembedaan antara kedua jenis benda tersebut.
• Asas Publisitas
Asas ini berkaitan dengan pengumuman status kepemilikan suatu benda tidak bergerak kepada masyarakat. Sedangkan untuk benda tidak bergerak tidak perlu didaftarkan, artinya cukup melalui penguasaan dan penyerahan nyata.
• Perjanjian Kebendaan
Perjanjian kebendaan, perjanjian yang mengakibatkan berpindahnya hak kebendaan. Perjanjian disini bersifat obligatoir, artinya dengan selesainya perjanjian, tujuan pokoknya belum selesai karena baru menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak artinya hak belum beralih sebab masih harus dilakukan penyerahan bendanya terlebih dahulu.
2.      Macam-macam benda
Menurut sistem Hukum Perdata Barat sebagaimana diatur dalam BW benda dapat dibedakan atas :[17]
1.      Benda tidak bergerak dan benda bergerak;
Benda tidak bergerak dibagi tiga, yaitu :[18]
a.       Benda tidak bergerak karena sifatnya: tanah beserta segala apa yang terdapat di dalam dan diatas dan segala apa yang dibangun di atas tanah itu secara tetap apa yang ditanam serta buah-buhan di pohon yang belum diambil.
b.      Benda tidak bergerak karena tujuannya: ke dalam benda semacam ini termasuk benda bergerak yang dipakai dalam benda pokok harus sedemikian rupa kontruksinya sehingga keduanya sesuai dan terikat untuk dipakai tetap. Benda pokoknya harus merupakan benda tidak bergerak.
c.       Benda tidak bergerak karena undang-undang  
Benda bergerak karena sifatnya/Pasal 509 KUHPerdata:  
a.       Yang dapat dipindahkan
b.      Yang dapat pindah sendiri  
Benda yang menurut penetapan Undang-Undang sebagai benda bergerak yaitu segala hak atas benda-benda bergerak. Misalnya hak memetik hasil dan hak memakai.
2.      Benda yang musnah dan benda yang tetap ada;
Benda yang musnah adalah benda-benda yang dalam pemakaiannya akan musnah, kegunaan/manfaat dari benda-benda ini justru terletak pada kemusnahannya. Misalnya barang-barang makanan/minuman jika dimakan/diminum baru memberikan manfaat. Sedangkan benda yang tetap ada adalah benda-benda yang dalam pemakaiannya tidak mengakibatkan benda itu menjadi musnah, tetap member manfaat bagi si pemakai. Misalnya cangkir, mobil dan lain-lain.
3.      Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti;
Perbedaan benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti tidak disebut secara tegas dalam BW. Menurut Pasal 1694 BW pengembalian benda oleh yang dititipi harus in natura artinya tidak boleh diganti dengan benda yang lain.
4.      Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi;
Benda yang dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya dibagi tidak mengakibatkan hilangnya hakikat daripada benda itu sendiri. Misalnya bera, gula, pasir, dan lain-lain.
Benda yang tidak dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya dibagi mengakibatkan hilangnya atau lenyapnya hakikat daripada benda itu sendiri. Misalnya kuda, sapi, uang dan lain lain.
5.      Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak diperdagangkan;
Benda yang diperdagangkan adalah benda yang dapat dijadikan obyek suatu perjanjian di lapangan harta kekayaan. Sedangkan benda yang tidak diperdagangkan adalah benda-benda yang tidak dapat dijadikan obyek suatu perjanjian di lapangan harta kekayaan.
6.      Benda berwujud dan benda tidak berwujud;
Perbedaan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak tersebut penting artinya, karena adanya ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut, misalnya sebagai berikut :
1.      Mengenai bezit
Pasal 1977 ayat (1) BW menentukan, barang siapa yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemilik. Jadi beziter dari benda bergerak adalah eigenaar dari benda tersebut. Tidak demikian halnya terhadap yang menguasai benda bergerak
2.      Mengenai Pembebanan (bezwaring)
Terhadap benda bergerak harus dilakukan pand (gadai), sedangkan terhadap benda tidak bergerak harus dilakukan dengan hyphoteek (Pasal 1150 dan Pasal 1162 BW)
3.      Mengenai Penyerahan (levering)
Pasal 612 BW menetukan bahwa penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata, sedangkan penyerahan benda tidak bergerak menurut Pasal 616 BW harus dilakukan dengan balik nama pada daftar umum.
4.      Mengenai Daluarsa (verjaring)
Terhadap benda bergerak tidak dikenal verjaring sebab bezit disini sama dengan eigendom atas benda bergerak itu, sedangkan benda-benda tidak bergerak mengenal verjaring.
5.      Mengenai Penyitaan (beslag)
Revindicatoir beslag yaitu penyitaan untuk mendapat kembali bendanya sendiri hanya dapat dilakukan terhadap benda-benda bergerak. Kemudian executoir beslag yaitu penyitaan untuk melaksanakan keputusan Pengadilan harus dilakukan terlebih dahulu terhadap benda-benda bergerak. Apabila tidak mencukupi untuk membayar hutang tergugat kepada penggugat, baru executoir beslag tersebut dilakukan terhadap benda-benda tidak bergerak.
C.    Hak Kebendaan
Hak kebendaan (zakelijkrecht) adalah suatu hak untuk menguasai suatu benda. Hak kebendaan dibagi dua macam yaitu hak menikmati dan hak jaminan. Hak menikmati adalah hak dari subyek hukum untuk menikmati suatu benda secara penuh (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai) maupun terbatas seperti hak atas pengabdian pekarangan. Sedangkan hak jaminan adalah member kepada yang berhak/kreditor hak didahulukan untuk mengambil pelunasan dari hasil penjualan barang yang dibebani, seperti gadai, hipotek, hak tanggungan, hak fidusia dan lain-lain.[19]
Perolehan Hak Kebendaan
Ada beberapa cara untuk memperoleh hak kebendaan, seperti :[20]
a.       Melalui Pengakuan
Benda yang tidak diketahui siapa pemiliknya (res nullius) kemudian didapatkan dan diakui oleh seseorang yang mendapatkannya, dianggap sebagai pemiliknya.
b.      Melalui Penemuan
Benda yang semula milik orang lain akan tetapi lepas dari penguasaannya, karena misalnya jatuh di perjalanan, maka barang siapa yang menemukan barang tersebut dan ia tidak mengetahui siapa pemiliknya, menjadi pemilik barang yang diketemukan. Contoh ini adalah aplikasi hak bezit.
c.       Melalui Penyerahan
Cara ini yang lazim, yaitu hak kebendaan diperoleh melalui penyerahan berdasarkan alas hak (rechts titel) tertentu, seperti jual-beli, sewa-menyewa, hibah warisan dan lain-lain.
d.      Dengan Daluarsa
Barang siapa menguasai benda bergerak yang dia tidak ketahui pemilik benda itu sebelumnya (misalnya karena menemukannya), hak milik atas benda itu diperoleh setelah lewat waktu tiga tahun sejak orang tersebut menguasai benda yang bersangkutan.
Untuk benda tidak bergerak daluarsanya adalah :
*      Jika ada alas hak, 20 tahun
*      Jika tidak ada alas hak, 30 tahun
e.       Melalui Pewarisan
Hak kebendaan dapat diperoleh melalui warisan berdasarkan hukum waris yang berlaku, bisa hukum adat, hukum islam atau hukum barat.
f.       Dengan Penciptaan
Seseorang yang menciptakan benda baru, baik dari benda yang sudah ada maupun samasekali baru, dapat memperoleh hak milik atas benda ciptaannya itu.
g.      Dengan cara ikutan/turunan
Seseorang yang membeli sebidang tanah, ternyata di atas tanah tersebut kemudian tumbuh pohon durian, maka pohon durian itu termasuk milik orang yang membeli tanah tersebut.
Hapusnya Hak Kebendaan
Hak kebendaan dapat hapus/lenyap karena beberapa hal :[21]
a.       Bendanya lenyap/musnah
Karena musnahnya suatu benda, maka hak atas benda tersebut ikut lenyap, misalnya hak sewa atas sebuah rumah yang habis/musnah ketimbun longsoran tanah gunung, menjadi musnah juga, atau hak gadai atas sebuah sepeda motor, ikut habis apabila barang tersebut musnah akibat kebakaran.
b.      Karena dipindah-tangankan
Hak milik, hak memungut hasil atau hak pakai menjadi hapus bila benda yang bersangkutan dipindah-tangankan kepada orang lain.
c.       Karena pelepasan hak
Dalam hal ini pada umumnya pelepasan yang bersangkutan dilakukan secara sengaja oleh yang memiliki hak tersebut, seperti radio yang rusak dibuang ke tempat sampah, dalam hal ini maka hak kepemilikan menjadi hapus dan bisa menjadi hak milik orang lain yang menemukan benda tersebut.
d.      Karena kadaluarsa
Daluarsa untuk barang tidak bergerak pada umumnya 30 tahun (karena ada alas hak), sedangkan untuk benda bergerak 3 tahun.
e.       Karena pencabutan hak
Penguasa publik dapat mencabut hak kepemilikan seseorang atas benda tertentu, dengan memenuhi syarat :
*      harus didasarkan suatu Undang-Undang
*      dilakukan untuk kepentingan umum (dengan ganti rugi yang layak)
Macam-macam Hak Kebendaan :[22]
Hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BW dapat dibedakan atas 2 macam yaitu :
1.      Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan.
2.      Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan.
Hak kebendaan yang bersifat memberi memberi kenikmatan (zakelijkgenotsrecht) mengenai tanah yang diatur dalam Buku II BW, dengan berlakunya UUPA (Undang-Undang No 5 Tahun 1960) tanggal 24 September 1960, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Hak Kebendaan yang Bersifat Memberi Kenikmatan :
a.         Bezit adalah suatu keadaan dimana seseorang menguasai suatu benda , baik sendiri maupun dengan perantaraan orang lain , seolah-olahnya benda itu miliknya sendiri.
b.        Hak milik (hak eigendom), disebutkan dalam pasal 570 BW menyatakan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan sepenuhnya dan untuk berbuat sebebas-bebasnya terhadap benda itu, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berwenang menetapkannya, dan tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak itu untuk kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan Undang-Undang dengan pembayaran ganti kerugian.
c.         Hak memungut hasil adalah hak untuk menarik hasil (memungut) hasil dari benda orang lain , seolah-olah benda itu miliknya sendiri dengan kewajiban untuk menjaga benda tersebut tetap dalam keadaan seperti semula .
d.        Hak pakai dan mendiami, dalam BW hak pakai dan hak mendiami ini diatur dalam buku II titel XI dari pasal 818 s.d 829 . Dalam pasal 818 BW hanya disebutkan bahwa hak pakai dan hak mendiami itu merupakan hak kebendaan yang terjadinya dan hapusnya sama seperti hak memungut hasil (vruchtgebruik)
 Hak Kebendaan yang Bersifat Memberikan Jaminan :
a.         Gadai adalah Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150).
      Dari pengertian gadai diatas ini ternyata hak gadai adalah tambahan saja dari perjanjian pokok yaitu perjanjian pinjaman uang. Maksudnya adalah untuk menjaga jangan sampai debitur lalai membayar kembali uang pinjaman dan bunganya.
b.        Jaminan fidusia : hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Subyek : orang yang membuat perjanjian
c.         Hak Tanggungan : hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
d.        Hipotik : hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.
e.         Privilege (piutang-piutang yang di istimewakan) : hak yang oleh Undang-Undang diberikan kepada seorang kreditur sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada kreditur lainnya, semata-mata berdasarkan sifat utangnya.


[1] Riduan Syahrani, 2006, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT.Alumni, Bandung, hal 1-2.
[2] Ibid, hal. 27
[3] Riduan Syahrani, Op.cit, hal 28
[4] Ibid,, hal 22
[5] Ibid, hal 23
[6] Ibid, hal 27
[7] Riduan Syahrani, 2006, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT.Alumni, Bandung, hal 28
[8] Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 39.
[9] Riduan Syahrani, Op.cit, hal 86
[10] Ibid,.
[11] Dina Tropika,  Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan, tersedia di http://kuliahade.wordpress.com diakses tanggal 23 Februari 2012
[12] Ibid,.
[13] Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
[14] Balian Zahab, Perwalian Menurut Hukum Perdata, tersedia di http://balianzahab.wordpress.com diakses tanggal 23 Februari 2012
[15] Riduan Syahrani, 2006, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, edisi ketiga, PT. Alumni, Bandung, hal 107
[16] Teguh Patahilah, Asas-Asas Hukum Benda, tersedia di http://teguhpatahilah.blogspot.com/2010/10/asas-asas-hukum-benda.html diakses pada tanggal 24 Februari 2012
[17] Riduan Syahrani, op.cit, hal 108
[18] Dina tropika, hukum perdata : pembedaan macam-macam  benda tersedia di http://kuliahade.wordpress.com/2010/05/21/hukum-perdata-pembedaan-macam-macam-benda/ diakses tanggal 24 Februari 2012
[19] Salim HS, 2008, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), cetakan kelima, Sinar Grafika, Jakarta, hal 100
[20] Website Badan Pelatihan dan Pemeriksa Keuangan :  www.bppk.depkeu.go.id/webpkn/index  diakses pada tanggal 24 Februari 2012
[21] Ibid,.
[22] Riduan Syahrani, op.cit, hal 117