Selasa, 12 April 2011

SURAT KUASA

Kesalahan formil gugatan yang harus diperhatikan oleh kuasa hukum penggugat/penggugat :
  • Kewenangan absolut dan relative
  • Prematur / hal yang menunda atau yang menangguhkan gugatan
  • Obscuur Libel (gugatan kabur)
  • Nebis in idem 
  • Error in persona
  • Rei judicata deductae 

Pengertian kuasa nmerujuk pada wewenang, jadi pemberian kuasa berarti pemberian/pelimpahan wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa, untuk mewakili kepentingannya.

A. KUASA PADA UMUMNYA

• Pasal 1972 BW mendefiniskan pemberian kuasa adalah “ suatu pesetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasanya (wewenang) kepada orang lain , yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”
• Adapun sifat pemberian kuasa adalah sebagai berikut ;
a. Pemberian Kuasa terjadi dengan Cuma-Cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya;
b. Si kuasa tidak dibolehkan melakukan Sesuatu apapun yang melampui kuasanya
c. Si Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan siapa si kuasa telah bertindak dalam kedudukannya dalam kedudukannya dan menuntut dari padanya pemenuhan persetujuannya

• Kewajiban Si Penerima Kuasa diatur dalam pasal 1800-1806 BW sedangkan Kewajiban dari Si Pemberi Kuasa itu diatur dalam Pasal 1807-1812 BW.

• Berakhirnya Surat Kuasa diatur dalam pasal 1813-1819 BW, yaitu sebagai berikut :
a. Ditariknya kembali kuasa si Penerima Kuasa
b. Dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa;
c. Dengan Meninggal, Pengampuan, pailitnya si Pemberi Kuasa atau penerima Kuasa;
d. Dengan Kawinnya Permpuan yang memberi kuasa atau menerima kuasa. Setelah SEMA No.1115/B/3932/M/1963 dan Undang-Undang Pokok Perkawinan No,or 1 tahun 1974, maka ketentuan tersebut tidak berlaku lagi.
e. Pengangkatan kuasa baru untuk mengurus hal yang sama menyebabkan ditariknya kuasa pertama.

B. JENIS KUASA

Menurut M. Yahya Harahap, SH dikatakan ada 3 (tiga) Jenis kuasa

1. Kuasa Umum
Kuasa Umum diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata, dimana kuasa umum bertujuan untuk memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa mengenai pengurusan , yang disebut berharder untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Dengan demikian , dari segi hukum , surat kuasa umum tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR, untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, Penerima Kuasa haruslah mendapat surat kuasa khusus.

2. Kuasa Khusus
Adapun pengaturan mengenai surat kuasa khusus diatur dalam pasal 1975 BW yaitu mengenai pemberian kuasa mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Agar bentuk kuasayang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan , kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal 123 HIR.

3. Kuasa Istimewa
Kuasa Istimewa diatur dalam pasal 1796 BW dikaitkan dengan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG.

C. KUASA MENURUT HUKUM

Maksud dari Kuasa Menurut Hukum bahwa Undang-Undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan dengan sendirinya menurut hukum bertindak mewakili orang atau badan itu sendiri tanpa memerlukan surat kuasa.contohnya;
• Wali terhadap Anak di bawah perwalian ( Pasal 51 UU No.1 tahun 1974)
• Kurator atas Orang Yang tidak waras ( Pasal 229 HIR)
• Orang Tua terhadap Anak yang belum dewasa ( Pasal 45 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974)
• Balai Harta Peninggalan sebagau Kurator Kepailitan
• Direksi atau Pengurus Badan Hukum (Pasal 1 butir 5 U No 41 tahun 2007)
• Direksi Perusahaan Persero ( Pasal 1 angka 2 PP No.12 Tahun 1998)
• Pimpinan Perwakilan Perusahaan Asing.
• Pimpinan Cabang Perusahaan Domestik

D. BENTUK KUASA DI DEPAN PENGADILAN

Bentuk kuasa yang sah di depan Pengadilan untuk mewakili kepentingan pihak yang berperkara diatur dalam pasal 123 ayat (1) HIR. Adapun bentuk kuasa tersebut;
1. Kuasa Secara Lisan
Bedasarkan pasal 123 ayat (1) HIR (pasal 147 ayat (1) RBG ) serta Pasal 120 HIR , bentuk kuasa lisan terdiri dari :
• Dinyatakan secara Lisan oleh Penggugat di Hadapan Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 120 HIR memberikan hakl kepada penggugat untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Penggugat untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua PN, apabila tergugat buta aksara. Apabila ketua PN menerima gugatan secara lisan maka dia wajib memformulasikan kedalam bentuk tertulis.

• Kuasa yang Ditunjuk Lisan di Persidangan.
Pengaturannya ada dalam pasal 123 ayat (1) HIR dengan syarat:
1. Penunjukan secara lisan tersebut dilakukan dengan kata-kata tegas
2. Majelis memerintahkan panitera untuk mencatatnya dalam berita acara sidang
2. Kuasa yang Ditunjuk dalam Surat Gugatan
Pengaturannya ada dalam surat gugatan yang diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR (pasal 147 ayat (1) RBG) dikaitkan dengan Pasal 118 HIR. Dalam Praktik yang berkembang saat ini, pada Surat gugatan dicantumkan kuasa yang akan bertindak mewakili penggugat, Pencantuman dan penjelasan itu dalam surat gugatan didasarkan atas surat kuasa khusus.

3. Surat Kuasa Khusus

Bedasarkan pasal 123 ayat (1) HIR dinyatakan , bahwa selain kuasa secara lisan atau kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan, pemberi kuasa dapat diwakili kuasa dengan surat kuasa khusus atau bijzondere schriftelijke machtiging.
Adapun mengenai Syarat dan Formulasi Surat Kuasa Khusus tersebut selain diatur dalam Pasal 123 HIR juga diatur dalam SEMA.

• SEMA no.2 Tahun 1959
Bedasarkan SEMA ini digariskan syarat khusus antara lain;
1. menyebutkan kompetensi relatif, di PN mana kuasa itu dipergunakan mewakili kepentingan pemberi kuasa
2. menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak (sebagai penggugat dan tergugat)
3. menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok dan objek sengketa yang diperkarakan antara pihak yang berperkara.
Adapun syarat tersebut bersifat kumulatif. Salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi mengakibatakan :
1. Surat Kuasa Khusus cacat formil
2. Kedudukan kuasa sebagai pihak formil mewakili pemberi kuasa tidak sah, sehingga gugatan yang ditandatangani tidak sah.

• SEMA No.5 Tahun 1962
SEMA ini memberi petunjuk kepada Hakim mengenai penyempurnaan penerapan Surat Kuasa Khusus yang digariskan dalam SEMA No.2 Tahun 1959 mengenai PN dan PT dapat menyempurnakan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat .

Minggu, 03 April 2011

Ketentuan Tindak Pidana Korupsi dalam KUHP
KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordasi, diundangkan dalam Stbl 1951 Nomor 752, berdasarkan KB 15 oktober 1915. Meskipun telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia, antara lain dengan jalan menyisipkan pasal-pasal tertentu yang dipandang sesuai dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia sendiri, unifikasi ini ditentang oleh banyak sarjana hukum Belanda sendiri.
Hal yang menentang kodifikasi umumnya dari kalangan sarjana hukum adat seperti ter Haar yang menghendaki agar kepada orang bukan Eropa (orang Indonesia) diberi suatu kodifikasi tersendiri. Adapun pasal sisipan yang benar-benar bersifat Indonesia, misalnya Pasal 423 KUHP (yang bersama dengan Pasal 425 KUHP bernama knevelarij), yang 56 tahun kemudian ternyata ditarik ke dalam UUPTPK (Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, kemudian Undang-Undang No. 31 Tahun 1999) sehingga digolonkan menjadi delik korupsi.
Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah memaparkan penafsiran sosiologis terhadap KUHP dari dahulu sampai kini bahkan juga terhadap delik korupsi untuk menunjukan bahwa terbuka jalan lapang untuk menerapkan hukum pidana yang sesuai dan selaras dengan tata hidup masyarakat Indonesia walaupun KUHP yang kita miliki sudah tua dan sering diberi merek colonial itu.
Walaupun KUHP 1915 telah diubah, ditambah dan diperbaiki oleh beberapa undang-undang nasional, delik-delik korupsi yang ada didalamnya tetap sebagaimana mulanya sampai ditarik ke dalam UU PTPK (Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, kemudian Undang-Undang No. 31 Tahun 1999)
KUHP merupakan suatu sistem, dan segala pasal serta bab yang ada didalamnya terikat dengan sistem itu. Oleh karena itu, ditarik 19 (sembilan belas) pasal dari KUHP ke dalam sistem yang lain yaitu UU PTPK, maka dengan sendirinya terjadi masalah yuridis yang pelik-pelik. Masalah-masalah tersebut akan diuraikan pada bab-bab berikut ini.
Delik korupsi yang merupakan delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan seperti Pasal 209  dan 210 (orang yang menyuap pegawai negeri atau lazim disebut (actieve omkoping), berada dalam bab yang lain, tetapi juga dalam Buku II KUHP (tentang kejahatan).
Perincian delik-delik korupsi yang berasal dari KUHP telah disebut dalam Bab I pendahuluan. Semua merupakan kejahatan biasa, artinya bukan kejahatan ringan atau pelanggaran sebagaimana dikenal dalam hukum pidana nasional. Begitu pula dalam Code Penal, delik jabatan seperti itu termasuk kedalam buku tentang kejahatan biasa. Sebagaimana diketahui, kejahatan biasa dan kejahatan ringan dipisahkan dalam buku yang berlainan menurut sistematika Code Penal tersebut.
Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Penguasa Militer
Pendapat bahwa perbaikan peraturan anti korupsi akan membawa pula akibat berkurangnya korupsi melahirkan peraturan pemberantasan korupsi dari Penguasa Perang Pusat tersebut. Pada tanggal 14 Maret 1957 seluruh wilayah Indonesia termasuk semua perairan teritorialnya dinyatakan dalam keadaan darurat perang (Staat Oorlog van Beleg) melalui Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 1957. selanjutnya pada tanggal 17 Desember 1957 dengan Keputusan Presiden Nomor 225 Tahun 1957 keadaan perang tersebut dicabut kembali dan seketika itu pula dinyatakan dalam keadaan perang. Dengan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957 ternyata Keputusan presiden Nomor 225 Tahun 1957 disahkan oleh DPR, sehingga dengan demikian keadaan perang diseluruh wilayah Republik Indonesia termasuk semua teritorial perairannya itu tetap berlaku sampai satu tahun sejak disahkannya dengan undang-undang (lihat Undang-Undang Nomor 74 1957).
Sehubungan dengan peryantaan keadaan perang telah disahkan menjadi undang-undang, maka penguasa perang seperti yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 mempunyai kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan. Diantara sekian banyak peraturan yang dibuat oleh penguasa perang tersebut terdapat Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/PM/03/1957. dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor Prt/011/PM/1957. Pertimbangan dari peraturan yang pertama diatas (9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957) menyatakan antara lain: Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi dan seterusnya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dapat diketahui adanya usaha untuk pertama kali memakai istilah ‘korupsi’ sebagai istilah hukum dan memberi batasan pengertian korupsi sebagai berikut, Perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara.
Dalam kaitan dengan berlakunya Pasal 60 Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan bahaya, ketiga peraturan penguasa militer tersebut diatas menurut hukum pada tanggal 17 April 1958 akan tidak berlaku lagi, maka diganti dengan peraturan pemberantasan Korupsi Prn Penguasa Perang Pusat Nomor Prtl Peperpul 013/1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 16 April 1958 dalam Berita Negara Nomor 40/1958. pertimbangan peraturan ini, khususnya pada butir a dinyatakan, “Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum yang mempergunakan modal dan atau keloggaran-kelanggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank, wakaf dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuatan pidana, perlu diadakan tambahan berupa peraturan pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi.
Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pembuat peraturan masih berusaha memperbaiki dan menambah peraturan yang terdahulu agar lebih efektif dalam memberantas korupsi. Fokus dari peraturan ini adalah bentuk khusus dari perbuatan korupsi, yaitu menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau keloggaran yang lain dari masyarakat. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat pembuatan peraturan itu (sekitar 1957 – 1958) sedang ramai-ramainya pengambilalihan dan pengurusan perusahaan-perusahaan milik Belanda menjadi perusahaan Negara. Dari pertimbangan itu pula dapat ditarik kesimpulan bahwa KUHP saja tidaklah cukup untuk menampung segala masalah yang timbul berhubungan dengan perbuatan yang merugikan keuangan itu.
Kemudian peraturan tersebut di atas diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut dengan surat keputusan kepala staf Angkatan laut Nomor Z/1/1/7, Tanggal 17 April 1958 (Berita Negara Nomor 42 Tahun 1958). Menarik dari ketentuan peraturan penguasa perang pusat (Angkatan Darat dan Laut) tersebut adalah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada bagian I Pasal 1 yang dijabarkan pada pasal 2 dan pasal 3. dalam pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa perbuatan korupsi terdiri atas perbuatan korupsi pidana dan perbuatan korupsi lainnya (pasal 1).
Dalam penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa perbuatan korupsi pidana adalah sebagai berikut :
1.      Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran – kelonggaran masyarakat.
2.      Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalagunakan jabatan atau kedudukan.
3.      Kejahatan – kejahatan tercantum dalam pasal 40 sampai dengan pasal 50 peraturan penguasa perang pusat ini dalam pasal 209, pasal 210, pasal 418, pasal 419 dan pasal 420 KUHP (pasal 2).
Batasan pengertian perbuatan korupsi dalam perkembangan selanjutnya unsur – unsur perbuatan korupsi diambil alih oleh undang – undang yang lahir kemudian sebagai unsur delik dengan perbaikan redaksi serta penambahan delik-delik dari KUHP. Bila ditinjau dari apa yang tercantum pada penjelasan sub a tersebut diatas, maka unsur pertama dari korupsi adalah dengan atau karena melakukan kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan unsur kedua yaitu, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat.
Berdasarkan kedua unsur tersebut, pembuat peraturan tidak menjelaskan kejahatan atau pelanggaran macam apa yang dimaksud. Dengan demikian batasan korupsi menjadi sangat luas yang penting adalah membawa akibat memperkaya diri dan seterusnya. Sementara yang dimaksud dengan korupsi pidana oleh Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dijelaskan dalam Pasal 3 sebagai berikut:
ü  Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
ü  Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960
Dari permulaan dapat diketahui bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat tentang pemberantasan korupsi hanya bersifat darurat, temporer dan berlandaskan pada undang-undang Keadaan Bahaya. Dalam keadaan normal peraturan itu perlu dicabut dan jika masih dibutuhkan adanya peraturan tindak pidana korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus, perlu disusun dalam bentuk suatu undang-undang. Undang-undang yang dimaksudkan adalah Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960 tentang Pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Pada awalnya, Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960 berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sudah ada sebelum Tanggal 1 Januari 1961 menjadi Undang-Undang.
Definisi perbuatan pidana korupsi menurut undang-undang tersebut dirumuskan dalam Pasal 1 menyatakan: Pertama, Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat. Kedua, Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. Ketiga, Kejahatan tercantum dalam Pasal 17 dan Pasal 21 Peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 
Apabila dicermati, rumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 24 (Prp)/1960 tidak banyak berbeda dengan peraturan penguasa perang tersebut diatas. Perumusan perbuatan korupsi pidana pasal 1 sub a (pertama) ternyata hanya mengambil alih peraturan sebelumnya dengan redaksi yang sepenuhnya sama, hanya saja perbuatan diganti dengan kata tindakan, karena undang-undang tersebut memakai istilah “tindak pidana” bukan “perbuatan pidana”. Kemudian rumusan langsung atau tidak langsung merugiukan keuangan negara dan seterusnya diganti dengan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
Pada sub c (ketiga) ditunjuk kejahatan yang tercantum dalam pasal 41 sampai 50 Peraturan Penguasa Perang Pusat, dan Pasal-Pasal KUHP yang dimaksud adalah pasal 209, 210, 418 dan 420 KUHP. Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan penyuapan baik yang aktif (active amkoping), maupun yang pasif (passive omkoping). Kejahatan yang dipandang korupsi tetapi tidak dimasukkan dalam undang-undang tersebut adalah pasal 415 KUHP tetang penggelapan oleh pegawai negeri. Mungkin pembuat peraturan tersebut memandang bahwa kejahatan seperti itu sudah terangkum dalam sub a, seperti telah diuraikan di depan. Penggelapan oleh pegawai negeri termasuk kejahatan yang sudah barang tentu merugikan keuangan atau perekonomin negara. Permasalahannya apakah orang itu memperkaya diri atau orang lain atau suatu badan dengan perbuatan penggelapan itu.
Perumusan sub c (ketiga) ini pun tercantum dalam Undang-Undang (PRP) Nomor 24 tahun 1960, dengan mengganti pasal 40 sampai 50 peraturan Penguasa Perang Pusat menjadi pasal 17 dan 21, sesuai dengan apa yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dimasukkan pasal-pasal KUHP yang bertalian dengan suap menyuap dan diperluas, sehingga meliputi pula pasal-pasal 1415, 416, 417, 423, 425, 435 KUHP. Memang ini menjadi kekurangan Peraturan Penguasa Perang Pusat karena penggelapan oleh pegawai negeri benar merupakan bentuk inti korupsi disamping masalah suap menyuap (209, 210, 418, 419, dan 420). Demikian pula dengan pasal 423, dan pasal 425 merupakan bentuk extortion yang disebut knevelary.
Tindak Pidana Korupsi  dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
Berbagai ketentuan undang-undang nomor 24 tahun 1960 dalam perkembangannya dirasakan tidak mampu untuk menyelamatkan keuangan dan perekonomian negara. Oleh karena itu perlu diganti dengan undang-undang baru tentang pemberantasan korupsi yang meliputi ketentuan-ketentuan tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pindana korupsi.
Hal ini diakibatkan unsur tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya suatu kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Jelas hal ini bertentangan dengan perasaan keadilan masyarakat. Dalam kenyataannya banyak perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, tidak selamanya didahului oleh suatu kejahatan atau pelanggaran. Perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya bersifat koruptif tidak dapat dipidana berdasarkan undang-undang nomor 24 tahun 1960.
Atas dasar tersebut, undang-undang nomor 24 tahun 1960 kemudian diganti dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 1971. rumusan tindak pidana korupsi menurut undang-undang nomor 3 tahun 1971 mencakup perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan secara melawan hukum yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan pro parte dolus pro parte culpa. Artinya, bentuk kesalahan disini tidak hanya disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, sudah dapat menjerat pelaku. Rumusan seperti ini mudah dalam hal pembuktian. Demikian pula dengan sarana melawan hukum, baik mengandung pengertian melawan hukum formil maupun materil, memudahkan pembuktian perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan. Jelas sekali bahwa rumusan seperti itu lebih mudah untuk membuktikan telah terjadi tindak pidana korupsi dari pada memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan atau pelanggaran sebagaimana yang disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960.
Secara tegas perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Momor 3 Tahun 1971 dirumuskan sebagai berikut:
Ø  Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Ø  Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Ø  Barangsiapa melaukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423 dab 435 KUHP.
Ø  Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekay pada jabatan atau kedudukan itu.
Ø  Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
Ø  Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.
Dari rumusan tersebut diatas jelaslah bahwa undang-undang nomor 3 tahun 1971 lebih progresif bila dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. Beberapa catatan perihal progresif dari undang-undang tersebut adalah: Pertama, unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dirumuskan sedemikian rupa hingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, baik secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kedua, undang-undang tersebut tidak lagi mensyaratkan adanya kejahatan atau pelanggaran seperti undang-undang sebelumnya. Ketiga, terdapat tambahan pasal 387 dan pasal 399 KUHP. Keempat, adanya ancaman pidana terhadap orang yang menerima pemberian atau janji seperti tersebut padal pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. Kelima atau yang terakhir adalah percobaan dan permufakatan jahat disamakan dengan pelaku.
Selain itu perlu dicatat bahwa dalam undang-undang tersebut terdapat perluasan pengertian pegawai negeri. Dalam pasal 2, pengertian pegawai negeri meliputi juga orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
Latar belakang dicantumkannya perluasan pengertian pegawai negeri adalah karena berdasarkan pengalaman-pengalaman selama ini, orang-orang bukan pegawai negeri menurut pengertian hukum administrasi, dengan menerima tugas tertentu dari suatu badan negara atau badan yang menerima bantuan dari negara, dapat pula melakukan perbuatan-perbuatan korupsi atau perbuatan tercela seperti tersebut diatas.
Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
Pasca runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, salah satunya diantaranya adalah mewujudkan pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Hal ini sebagai dampak bahwa perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Dampak selanjutnya adalah timbulnya krisis di berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Atas dasar tersebut, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti, karena dirasakan sudah tidak lagi memadai untuk menghadapi canggihnya modus operansi perbuatan korupsi. Diharapkan undang-undang yang baru mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1.      Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, (pasal 2).
2.      Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).
3.      Melakukan perbuatan pidana menurut pasal 209, 210, 387, 388, 515, 416, 417, 418, 419, 420, pasal 423, pasal 425, pasal 435 (Pasal 5 s.d 12)
4.      Setiap orang yang memberikan hadia atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13).
5.      Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang – Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang – Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang ini (Pasal 14).
6.      Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidanakan dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14.
7.      Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14.
8.      Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18.
Selain memperluas pengertian perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai korupsi, undang – undang juga menegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi (Pasal 4). Meskipun berlebihan penegasan ini penting karena kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur esensial dalam perbuatan pidana korupsi. Dengan ketentuan itu, perbuatan pidana korupsi tidak dihapuskan sekalipun kemudian unsur kerugian negara tidak terbukti di pengadilan, karena telah dikembalikan oleh tersangka.
Dikatakan berlebihan karena prinsip dalam hukum pidana yang dituntut adalah perbuatannya, bukan karena soal adanya kerugian. Walaupun demikian kiranya perlu diberi catatan, apabila pengembalian atas perbuatan yang dinilai sebagai tindak pidana korupsi itu dikembalikan secara suka rela tanpa adanya unsur dari luar sebelum perkara itu diketahui oleh publik atau aparat penegak hukum, maka atas pengembalian secara suka rela tersebut tidak dapat menjadi dasar penuntutan. Terhadap pengembaian secara suka rela sebelum perkara itu diketahui publik atau aparat penegak hukum, seharusnya diperlakukan sebagai sifat melawan hukum dalam fungsi yang negatif. Adapun pemberatan pidana menurut undang-undang ini selain ancaman pidana yang lebih berat dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, undang-undang ini juga sebelumnya, undang-undang ini juga memberikan pemberatan terhadap hal-hal sebagai berikut:
a)      Terhadap perbuatan pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Ancaman pidanya dapat berupa pidana mati. Adapun yang dimaksudkan dengan keadaan tertentu ialah keadaan dimana negara:
ü  Ditetapkan dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku
ü  Terjadi bencana alam nasional
ü  Pengulangan tindak pidana korupsi dan
ü  Dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter
b)      Apabila oleh undang-undang lain dinyatakan sebagai perbuatan korupsi, maka diberlakukan undang-undang
c)      Percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama
d)     Orang di luar negeri yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama dengan pelaku
e)      Dilakukan dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
f)       Dalam perkara pidana korupsi selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, juga dapat dijatuhkan sebagai pidana tambahan berupa: pertama, perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Kedua, pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan apabila dalam tenggang waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Namun apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipindana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya yang sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Ketiga, penuntutan seluruh atau sebagai perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.