Kamis, 22 Januari 2015

KEBIJAKAN LUAR NEGERI SATU CINA (ONE CHINA POLICY) dan IMPLIKASINYA TERHADAP HUBUNGAN EKONOMI INDONESIA-TAIWAN

PENDAHULUAN
Negara-negara yang termasuk kedalam masyarakat internasional selalu tidak tetap dan berubah-ubah, perjalanan sejarah yang panjang membuahkan banyak perubahan tersebut. Negara-negara lama lenyap atau bergabung dengan dengan negara lain, kemudian membentuk sebuah Negara baru, atau terpecah menjadi beberapa Negara baru, hilangnya negara yang sudah ada, pemberontakan, kudeta, pergantian rezim pemerintahan, perubahan kepemilikan teritorial silih berganti mewarnai dinamika politik dunia. Berdasarkan hukum internasional ada akibat-akibat hukum yang penting berkaitan dengan fakta-fakta tersebut. Pada umumnya untuk dapat diterima sepenuhnya dalam masyarakat internasional, suatu entitas baru apakah itu suatu negara baru, pemerintahan baru, kelompok pemberontak ataukah perolehan tambahan wilayah tertentu membutuhkan suatu pengakuan dari pihak lain.  
Pengaruh dari pengakuan adalah memberikan kemudahan bagi negara yang bersangkutan untuk melakukan transaksi-transaksi internasional dikemudian hari. Dengan dimilikinya pengakuan oleh suatu negara maka secara otomatis hal tersebut menunjukan apabila negara tersebut telah menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum yang dibebankan oleh hukum internasional. Selain itu pengakuan merupakan penerimaan dari negara-negara lain sebagai subjek hukum terhadap negara lainnya untuk bertindak dalam kapasitas sebagai subjek hukum. Pengakuan dapat dinyatakan secara terang-terangan ataupun secara diam-diam. Pengakuan dalam hukum internasional tidak hanya terkait dengan penerapan kriteria-kriteria hukum. Oleh karena itu, dalam penerapannya justru pertimbangan politiklah yang sangat menentukan.
Dalam praktik internasional pengakuan diam-diam (implied recognition) justru yang lebih sering dilakukan. Tindakan negara membuka hubungan diplomatik dengan suatu negara baru, pemberian execuatur pada konsuler negara baru, kehadiran pimpinan suatu negara pada upacara kemerdekaan suatu negara baru adalah contoh-contoh pengakuan diam-diam yang dapat ditafsirkan secara jelas adanya pengakuan dari satu pihak pada pihak yang lain. Dalam hal ini Indonesia membuka kantor perwakilanya di Taipe begitu pun sebaliknya merupakan pengakuan secara diam-diam Indonesia terhadap keberadaan Taiwan sebagai negara berdaulat, karena Indonesia penganut kebijakan satu Cina, yakni hanya mengakui Republik Rakyat Cina sebagai satu-satunya negara yang sah menguasai wilayah Cina daratan dan Cina kepulauan. Masalah pengakuan mau tidak mau harus dihadapi oleh beberapa Negara terutama apabila hubungan diplomatik dengan Negara-negara atau pemerintah-pemerintah yang diakui itu dianggap perlu untuk dipertahankan.
Taiwan merupakan salah satu Negara yang memiliki pengaruh kuat di kawasan Asia. Negara yang memisahkan diri dan merdeka dari China ini merupakan sebuah pulau di sebelah timur China yang beribu kotakan di Taipei. Secara resmi memang banyak Negara belum mengakui Taiwan sebagai suatu Negara yang berdaulat karena China sendiri selalu melaksanakan One China Policy kepada Negara Negara lain di dunia. Republik Rakyat China masih menganggap bahwa Taiwan merupakan sebuah provinsi bagian Fujian yang memberontak, sedangkan Taiwan menyebut dirinya sebagai sebuah Negara sendiri yang beraliran nasionalis dan tidak ingin disamakan dengan China.
RUMUSAN MASALAH
  1. Bagaimanakah perkembangan hubungan ekonomi dan politik Indonesia-Taiwan saat ini?
  2. Bagaimanakah implikasi kebijakan One China Policy terhadap hubungan kerjasama ekonomi dan perdagangan antara Indonesia dan Taiwan?


  
PEMBAHASAN
1.      Perkembangan Hubungan Ekonomi dan Politik Indonesia-Taiwan
Perkembangan hubungan ekonomi dan politik antara Indonesia dengan Taiwan, terlebih dahulu dibahas mengenai hubungan politik antara Indonesia-Taiwan dengan dilihat dari sudut pandang pengakuan (recognition). Pengakuan (recognition) menurut praktek negara modern bukan sekedar mengetahui, atau lebih dari pada pernyataan mengetahui bahwa suatu negara atau pemerintahan memenuhi syarat untuk diakui. Dalam hal tersebut terdapat dua teori yaitu teori deklaratoir, teori Konstitutif dan teori pengakuan kolektif.[1]Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja bahwa suatu negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu negara sebagai subjek hukum internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungan internasional.
            Berbeda dengan penganut Teori Deklaratif, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu negara sebagai anggota masyarakat internasional.  Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian hukum internasional (international legal personality) suatu negara.  Dengan kata lain, tanpa pengakuan, suatu negara bukan atau belumlah merupakan subjek hukum internasional. Pertentangan yang ada antara teori deklaratif dengan teori konstitutif, dimana teori yang pertama menganggap pengakuan tidak lebih dari tindakan politik saja, sedangkan teori yang kedua menekankan pada aspek yuridisnya, telah menimbulkan ketidakpastian dalam praktik masyarakat internasional. Semua ini menurut Jessup tidak lepas dari kurangnya lembaga-lembaga formal dalam hukum internasional yang memiliki kewenangan menetapkan parameter sekaligus memberikan atau menolak pengakuan terhadap suatu entitas politik baru yang mengklaim dirinya sebagai negara. Oleh karena itu Jessup berpendapat bahwa untuk memberikan atau menolak pengakuan, harus melewati lembaga pengakuan yang parameternya ditentukan secara kolektif, hal ini untuk mencegah masing-masing negara bertindak sendiri-sendiri tanpa parameter hukum yang jelas.
Dalam teori pengakuan juga dikenal dengan pengakuan de facto dan de jure, pembedaan pengakuan ini sebagaimana dikatakan oleh Profesor Brownlie, tidak memiliki konsekuensi apapun secara hukum.[2] Akan tetapi dalam prakteknya pembedaan pengakuan seperti itu masih dipertahankan. Pengakuan de Facto diberikan kepada negara yang berdasarkan fakta atau kenyataan bahwa pemerintahan dari negara yang diakui itu lahir atau eksis. Dalam pengakuan ini terdapat keragu-raguan dari pihak pemberi pengakuan akan keberlangsungannya. Tanpa mempersoalkan keabsahan yuridis pihak yang diakui itu, sekali pengakuan diberikan sejak saat itu pula konsekuensi hukum dari hubungan timbal-balik antar kedua negara dapat langsung, meskipun diakui secara diam-diam. Karena itu yang menjadi penekanan adalah fakta bahwa pihak yang diakui eksis sebagaimana layaknya sebuah negara. sebagai contoh adalah Inggris yang mengakui pemerintahan Soviet secara de Facto pada tahun 1921 dan pengakuan de Jure baru diberikan pada tahun 1924. Dengan demikian pengakuan de facto diberikan hanya berdasarkan fakta atau kenyataannya, sebab suatu fakta atau suatu peristiwa telah terjadi. Apakah pihak yang diakui de facto tersebut akan bertambah efektif eksistensinya ataukah sebaliknya adalah sangat tergantung pada perkembangan factual dari negara tersebut.
Dalam hal negara yang diberi pengakuan de facto semakin efektif eksistensinya sehingga mampu menguasai wilayah dan rakyatnya secara penuh mendukungnya, dan menunjukan kesediaannya mentaati kewajiban-kewajiban internasional. Akibatnya negara yang semula memberikan pengakuan de facto dapat menindak lanjuti pengakuan de facto yang sebelumnya telah diberikan dengan memberikan lagi pengakuan de jure. Sebab pengakuan de jure baru dapat diberikan apabila negara yang hendak memberi pengakuan percaya bahwa negara yang akan diakui secara de jure tersebut telah memenuhi kualifikasi menurut hukum internasional. Hal tersebut antara lain :[3]
1.      Efektivitas yaitu negara baru telah menguasai secara efektif baik secara formal maupun secara substansial wilayah dan rakyat yang berada dibawah kekuasaannya.
2.      Regularitas, yaitu rakyatnya itu sendiri sebagian besar atau seluruhnya telah memberikan dukungan yang sepenuhnya terhadap negara yang baru lahir.
3.      Ekslusivitas yaitu adanya kesediaan pihak yang akan diakui secara de jure tersebut untuk menghormati kaidah-kaidah hukum internasional.
Sebagai suatu titik di Asia Timur, eksistensi Taiwan dengan nama resmi Republic of China selalu dipertanyakan. Apakah Taiwan termasuk salah satu negara di Asia Timur atau tidak, ia tidak ada dalam daftar keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) namun dikategorikan sebagai salah satu macan Asia dan juga tergabung dalam WTO (World Trade Organization). Dilihat dari syarat umum adanya suatu negara, tampaknya Taiwan telah memenuhi 3 (tiga) unsur dasar untuk menjadi negara-bangsa, yakni ada wilayah, penduduk dan pemerintah.[4]
1.      Wilayah
Taiwan terletak di tepi Samudera Pasifik, meliputi Pulau Taiwan/Formosa dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, Kepulauan Penghu di Selat Taiwan, serta Kinmen dan Kepulauan Matsu di seberang pantai Fujian, China Daratan. Akan tetapi, wilayah tersebut secara konstitusional berada di bawah otoritas Pemerintah Republik Rakyat China sebagai provinsi.
2.      Penduduk
Dilihat dari penduduknya, Taiwan memiliki populasi penduduk sekitar 23.000.000 jiwa, yang terdiri dari berbagai etnis. Etnis tersebut terdiri dari 98 % Han (kemudian terbagi lagi atas 70% Hoklo, 14% Hakka, 14% Cina Daratan), dan 2% penduduk asli Taiwan atau kelahiran Taiwan. Dilihat dari budaya Taiwan juga mempunyai budaya tersendiri, walaupun budaya tersebut banyak di pengaruhi oleh budaya Tiongkok.
3.      Pemerintahan
Dalam konteks Republik China, partai-partai politik berkembang di Taiwan, pemilihan umum berlangsung secara teratur, organ-organ trias politica (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) terstuktur. Saat ini Ma Ying-jeou dari partai Kuomintang menduduki jabatan kepala eksekutif. Bahkan, Taiwan memiliki Angkatan Bersenjata yang lengkap; satu-satunya lembaga pemilik otoritas penggunaan kekerasan dalam sistem negara bangsa modern.
Namun, unsur tersebut belum cukup untuk mengatakan Taiwan sebagai “negara berdaulat”. Unsur terpenting dalam politik internasional adalah pengakuan dari negara lain. Pengakuan negara lain inilah yang menentukan eksistensinya, bukan sekedar de facto ataupun proses politik internalnya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukanlah negara yang mempunyai wewenang memberikan pengakuan atas keberadaan suatu negara ataupun pemerintahan baru. Akan tetapi, Resolusi A/RES/2758 sebagai hasil pemungutan suara di Majelis Umum PBB 25 Oktober 1971 yang sepakat memberikan kursi keanggotaan kepada perwakilan dari RRC menandai hilangnya Republik China di panggung internasional.
Kedudukan hukum ekonomi internasional dalam tata hukum di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu :
1.      Hukum ekonomi internasional "privat"
Para pihak/pelaku hukum ekonomi internasional adalah "persoon" (natuur persoon atau recht persoon) yang berasal dari dua atau lebih negara atau lokasi bisnis yang berbeda, yang melakukan kegiatan ekonomi seperti credit/loan, trade, investment, sales contract. Sumber hukum ekonomi internasional privat adalah contract yang dibuat para pihak, hukum perdata nasional, masing-masing para pihak, hukum perdata internasional.
2.      Hukum ekonomi internasional "publik"
Para pihak/pelaku hukum ekonomi internasional publik adalah Negara (state), International Economic Organization (seperti IMF, World Bank, WTO, Asian Development Bank, dan oragnisasi-organisasi ekonomi lainnya yang beranggotakan negara-negara di dunia), Persoon (natuur atau recht person) yang terkena dampak dan kebijakan ekonomi yang dibuat oleh negara dan international economic organization.
WTO adalah institusi kelanjutan dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Dalam era GATT, sebuah “satuan perekonomian” yang tidak independen bisa menjadi partisipan, asalkan mendapat dukungan/diusulkan  oleh pemegang kedaulatannya yang telah lebih dulu tergabung dalam institusi tersebut.  Indonesia menjadi salah satu partisipan paling awal dari GATT karena disponsori oleh Belanda. Hongkong, sebelum dikembalikan ke RRC,  mendapat posisi sebagai partisipan karena disponsori oleh Inggris. Dalam era WTO, prinsip ini pun  masih diperhatikan. Taiwan baru mendapatkan keanggotaan pasca RRC resmi menyelesaikan aksesinya. Pandangan mengenai syarat eksistensi negara telah berkembang. Ketiga unsur de facto negara tersebut dilengkapi dengan adanya aktivitas ekonomi dan perekonomian yang terorganisir, termasuk dalam hal ini mengeluarkan mata uang, adanya kekuatan menjalankan rekayasa sosial, adanya sistem transportasi, adanya kedaulatan, dan adanya pengakuan dari negara lain. Tak pelak, Taiwan hampir mempunyai semua itu. Tetapi jika kedaulatan bermakna sebagai tidak adanya negara lain yang berkuasa atasnya, maka dengan sendirinya eksistensi wilayah Taiwan pun bermasalah karena RRC menyatakannya hanya sebagai salah satu provinsinya. Hal ini melengkapi fakta bahwa Taiwan menjadi fenomena “negara dalam negara” namun tidak dapat dianggap sebagai negara berdaulat.
Prinsip-prinsip fundamental mengenai hubungan-hubungan ekonomi internasional ini adalah sebagai berikut:[5]
  • §edaulatan integritas wilayah dan kemerdekaan politik negara-negara
  • §  Persamaan kedaulatan semua Negara
  • §  Non-agresi
  • §  Non-Intervensi
  • §  Saling memberi manfaat dan adil
  • §  Koeksistensi damai
  • §  Hak-hak sama dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat
  • §  Penyelesaian sengketa secara damai
  • §  Memperbaiki ketidakadilan yang diakibatkan oleh suatu negara
  • §  Melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional dengan Itikad baik.
  • §  Menghormati Hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental
  • §  Tidak mencari hegemony dan pengaruh kekuasaan
  • §  Memajukan keadilan sosial internasional
  • §  Kerjasama internasional untuk pembangunan
  • § Akses bebas ke dan dari laut oleh negara-negara yang dikellingi oleh darat dalam ruang lingkup prinsip-prisnsip diatas.

Secara singkat kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi (omnipotence) yang hanya dimiliki negara. negara karenanya disebut juga sebagai subjek hukum internasional par excellence dibandingkan dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya. Kedaulatan digunakan untuk menggambarkan otonomi dan kekuasaan negara untuk membuat aturan-aturan hukum (hukum nasional) yang berlaku di wilayahnya dan membuat lembaga-lembaga negara. Dalam kedaulatan terefleksikan pula kekuasaan negara untuk mengadakan hubungan internasional dan tindakan-tindakan lain sebagai perwujudan dari kdaulatannya. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan pengertian kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting. Pertama, kekuasaan itu terbatas pada batas-batas wilayah negara yang dimiliki kekuasaan itu. Kedua, kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai.[6]  Kedaulatan ekonomi itu sendiri menurut Huala Adolf adalah kekuasaan tertinggi suatu negara untuk mengatur kebijakan ekonomi didalam wilayahnya ataupun kebijakan ekonomi internasionalnya. Sedangkan pengertian kedaulatan ekonomi negara menurut Qoreshi adalah keseluruhan kekuasaan ekonomi negara termasuk persamaan status dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional. Kekuasaan ekonomi negara lebih banyak berkenaan dengan kekuasaan negara terhadap kekayaan (alamnya), sistem ekonomi dan aturan-aturan perjanjian dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional. Sedangkan persamaan status disini berkaitan erat dengan persamaan dan kemerdekaan negara, termasuk dalam hak dan kewajibannya.[7]
Kedudukan partisipasi negara-negara termasuk negara yang belum diakui, menurut Shearer dalam keadaan-keadaan tertentu pengakuan dapat ditemukan dalam suatu perjanjian internasional terhadap negara yang belum mendapatkan pengakuan, dengan demikian pengakuan secara diam-diam dalam praktek hubungan internasional dimungkinkan untuk dilakukan menurut norma hukum internasional bila adanya:[8]
1.      Partisipasi bersama dalam sebuah perjanjian atau traktat multilateral.
2.      Partisipasi dalam sebuah konferensi internasional.
3.      Inisiasi negosiasi-negosiasi antara negara yang mengakui dan yang ingin diakui.
Sehingga dalam menjalankankan suatu hubungan ekonomi internasional Indonesia dan Taiwan, suatu perjanjian bilateral lah yang menjadi kekuatan hukum bagi kedua negara ini. Sehingga pengakuan secara diam-diam atau pengakuan implisit ini tidak mempengaruhi jalannya stabilitas ekonomi kedua negara tersebut. Menurut Kementrian Luar Negeri, Marty Natalegawa, diplomasi ekonomi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diplomasi bilateral Indonesia. Upaya untuk meningkatkan hubungan ekonomi di sektor perdagangan dan investasi dengan negara-negara sahabat merupakan salah satu prioritas diplomasi Indonesia guna mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemerintah sendiri menjadikan target perdagangan sebagai tolak ukur pencapaian diplomasi ekonomi dimaksud.
Kepentingan ekonomi Indonesia di luar negeri sudah menjadi concern pemerintah sejak dulu.  Dalam hubungan internasional setiap negara saling ketergantungan antara negara yang satu dengan yang lain, diplomasi ekonomi merupakan instrument yang sangat penting dan menjadi wilayah yang paling banyak digeluti negara. suatu negara boleh saja tidak mengakui keberadaan komunitas tertentu sebagai sebuah bangsa, seperti Indonesia yang tidak mengakui Taiwan sebagai sebuah negara, namun hubungan ekonomi diantara mereka berlangsung sangat baik dan saling menguntungkan. 
2.      Kebijakan One China Policy dan Implikasinya Terhadap Hubungan Kerjasama Perekonomian dan Perdagangan Antara Indonesia dan Taiwan
Belum diakuinya Taiwan sebagai sebuah Negara oleh sebagian besar Negara lain di dunia merupakan kendala besar bagi Taiwan untuk menjalin hubungan diplomatik dan hubungan kerjasama yang lebih luas. Bahkan, PBB sebagai suatu organisasi Internasional yang menaungi seluruh Negara tidak mengakui Taiwan sebagai anggotanya. Hal ini membuat banyak Negara di berbagai belahan dunia hanya melakukan hubungan kerjasama dalam perdagangan, perekonomian, dan ketenaga kerjaan dengan Taiwan termasuk Indonesia. Indonesia sendiri telah memiliki hubungan kerjasama dengan Taiwan sejak tahun 1960. Namun Indonesia selalu berpegang teguh dengan prinsip One China Policy atau kebijakan satu China, dimana Indonesia mengakui Taiwan sebagai bagian dari RRC (Republik Rakyat Cina). Artinya, secara de jure Indonesia hanya menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat China (RRC). Indonesia tidak mengakui Taiwan sebagai sebuah Negara yang berdaulat dan merdeka dari China. Namun bukan berarti antara Indonesia dan Taiwan tidak terjalin hubungan kerjasama. Hubungan antara Indonesia dengan Taiwan hanya sebatas hubungan kerjasama perdagangan dan ekonomi. Hal ini dikarenakan Indonesia ingin tetap menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah RRC baik hubungan diplomatik maupun hubungan kerjasama ekonomi.
Penerapan kebijakan luar negeri One China Policy merupakan langkah wajib yang tidak main main untuk selalu menjaga hubungan baik dengan pemerintahan RRC. Sejak kepemimpinan Taiwan beralih kepada Chen Shui Bien pada tahun 2000, hubungan antara Indonesia dan Taiwan tidak sebaik pada masa koumintang berkuasa. Menurunnya hubungan secara drastic ini lebih kepada perilaku dan sikap Taiwan yang berada pada dilemma antara persoalan geopolitik dan geoekonomi. Keseluruhan perilaku Taiwan berubah dengan menggunakan ancaman ekonomi untuk memperoleh keuntungan diplomasi. Gagalnya kunjungan pemimpin Taiwan Chen Sui Bien untuk maksud bisnis pada bulan desember tahun 2002 membuat pemerintahan Taiwan berencana melakukian Boikot Ekonomi dan Indonesia dikeluarkan dari daftar Negara tujuan investasi Taiwan. Tetapi hal semacam ini sangat sulit dilakukan dan mungkin hanya sebatas wacana dikarenakan sudah terlalu kuatnya pengaruh perekonomian Indonesia terhadap Taiwan. Banyaknya Kerjasama dan Investasi di segala bidang diantara kedua Negara menyebabkan hal semacam itu sangat sulit untuk dilakukan Taiwan dalam rangka memnggoyahkan kebijakan luar negri yang dianut Indonesia yaitu kebijakan satu China atau lebih dikenal One China Policy.
Situasi geopolitik diantara Indonesia dan Taiwan sebenarnya tidak berpengaruh signifikan terhadap pertambahan dan pengurangan volume perdagangan dan investasi Taiwan di Indonesia. Indonesia dengan potensinya baik potensi sumber daya alam maupun potensi sumber daya manusia berupa tenaga kerja masih menjadi sasaran kebijakan investasi Taiwan di kawasan Asia Tenggara. Namun, karena ketidaksiapan dalam berbagai hal penting seperti stabilitas, iklim investasi yang tidak memadai, minimnya kemudahan dan kelonggaran aturan investasi membuat kebijakan tersebut berjalan tidak secara penuh. Kerjasama perdagangan perekonomian dan investasi antara Indonesia dan Taiwan mencatat kenaikan dari tahun ke tahun. Volume perdagangan Indonesia dan Taiwan meningkat dari 3,09 milliar dolar AS pada tahun 2004 menjadi 3,81 milliar dolar AS pada tahun 2005. Nilai investasi Taiwan juga mencapai lebih dari 12,98 triliun dolar amerika serikat (data tahum 2004). Data tersebut menempatkan Taiwan sebagai partner perdagangan 10 teratas sekaligus sebagai salah satu penyumbang investasi asing yang cukup besar bagi Indonesia.
Kedudukan strategis Taiwan juga didukung dengan seringnya warga Taiwan berkunjung ke Indonesia dalam rangka berlibur sekitar tigaratus ribu orang pertahun. Hubungan ekonomi Indonesia Taiwan seharusnya tidak cukup high politics untuk menggangu hubungan bilateral antara Indonesia dan RRC. RRC sendiri memiliki hubungan perekonomian yan mengakar dengan Taiwan. Pada tahun 2005 volume perdagangan antara China dengan Taiwan mencapai 91,2 miiar dollar AS dan menempatkan Taiwan sebagai partner dagang ketujuh teratas bagi China. Bagi China, Taiwan merupakan pasar ekspor yang besar. Di bidang investasi, sekitar 3000 an proyek dengn nilai kontrak yang cukup besar yaitu 10,36 miliar dolar AS yang tercatat sebagai proyek investasi Taiwan di mainland. Dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi RRC, diperkirakan hubungan investasi anatr keduanya semakin meningkat. Sesungguhnya, China berada di posisi yang sangat dilematis karena selain usahanya untuk menentang keberadaan Taiwan sebgaai suatu Negara yang merdeka dengan selalu melaksanakan politik satu china kepada Negara Negara lain di dunia, Taiwan juga merupakan pasar ekspor dan mantra dagang yang cukup diperhitungkan oleh China.[9]
Hubungan kerjasama perekonomian diantara Indonesia dan Taiwan sangat tidak terganggu dengan adanya kebijakan luar negeri satu China yang dianut oleh Indonesia. Indonesia masih menjadikan Taiwan sebagai negara partner kerjasama perdagangan yang sangat baik. Selain bidang perekonomian yang sebagaimana telah disebutkan diatas, masih banyak kerjasama dalam bidang lain yang terjalin antara pemerintah Indonesia dan Taiwan. Salah satu bidang yang juga menguntungkan bagi kedua belah pihak negara yaitu kerjasama dalam bidang ketenagakerjaan.
Saat ini resmi tercatat lebih dari 120 ribu orang indonesia yang bekerja di berbagai sektor di Taiwan. Mereka yang bekerja di Taiwan ikut berperan penting dalam pertumbuhan perekonomian Taiwan. Para pahlawan devisa negara tersebut diakui banyak diperlukan di Taiwan. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja Indonesia yang diberangkatkan di Taiwan dari tahun ke tahun. Mereka biasanya bekerja didalam bidang perindustrian dan jasa seperti buruh dan pelayan. Taiwan juga merupakan salah satu investor besar dari Asia di Indonesia. Dalam berbagai pertemuan dengan pihak Taiwan, Pihak indonesia fokus menawarkan tiga sektor untuk dikembangkan yakni infrastruktur, agribisnis dan juga energi. Saat ini, Taiwan mampu bersaing dengan negara negara maju termasuk di bidang teknologi komunikasi dan produk produknya. Hal ini dibuktikan dengan tingginya tingkat ekspor produk produk unggulan Taiwan ke Indonesia. Produk produk IT Taiwan seperti ponsel, komputer dan laptop unggulan mereka sudah banyak sekali dipasarkan di Indonesia. Selain itu juga banyak sekali produk produk berupa mesin industri diekspor ke Indonesia.
Selain itu, Taiwan juga menjalin kerjasama dengan Indonesia dalam bidang kepariwisataan. Sampai sejauh ini, banyak warga Taiwan yang berkunjung dan berlibur ke Indonesia. Salah satu tujuan faforit mereka adalah pulau Bali. Banyak juga warga negara Indonesia yang berkunjung ke Taiwan untuk berlibur. Hal ini tentu membuat devisa kedua negara bertambah. Dalam bidang pendidikan, banyak sekali kalangan pelajar dari berbagai daerah di Indonesia yang saat ini tengah melanjutkan pendidikan di beberapa perguruan tinggi di Taipei yang merupakan ibukota Taiwan. Pemerintah Taiwan selalu mengundang para pelajar dan mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan pendidikan baik untukbelajar bahasa Mandarin, Teknologi atau bahkan yang ingin mengambil gelar doktoral dalam berbagai bidang disana. Sekitar seribu pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di Taiwan dan jumlahnya selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dengan kondisi seperti ini, secara prinsip kerjasama diantara pemerintah Indonesia dan Taiwan di bidang ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, pendidikan serta kepariwisataan tidak akan terpengaruh dengan persoalan politik diantara kedua negara.[10]
Kebijakan luar negri One China Policy tidak menjadi kendala bagi pengembangan hubungan kerjasama perekonomian dan perdagangan antara Indonesia dan Taiwan. Pemerintah Indonesia memang harus tetap berupaya mempertahankan politik luar negri yang bebas aktif secara konsisten dan pemerintah dituntut untuk melaksanakan politik luar negri yang selues mungkin tanpa mengabaikan kepentingan nasional yang dimilki oleh Indonesia termasuk dalam berhubungan dengan Taiwan.

KESIMPULAN
1.      Perkembangan hubungan ekonomi Indonesia-Taiwan saat ini berjalan sangat baik ditandai dengan banyaknya kerjasama yang saling menguntungkan diantara keduanya. Hal ini dapat dibuktikan dengan fakta bahwa Taiwan merupakan 10 negara teratas yang menjadi mitra dagang bagi Indonesia. Indonesia tidak melakukan hubungan politik kepada Taiwan melainkan hanya hubungan perekonomian.
2.      Kebijakan One China Policy tidak berpengaruh terhadap hubungan kerjasama perekonomian dan perdagangan antara Indonesia dan Taiwan. Karena politik luar negeri pada dasarnya adalah perjuangan kepentingan nasional sebuah negara di pentas internasional sesuai prinsip-prinsip hukum internasional. Dengan pertumbuhan ekonomi yang baik secara serta-merta kesejahteraan masyarakat Indonesia pun membaik. Indonesia tetap berpegang teguh pada One China Policy (kebijakan satu cina) dengan tidak membuka hubungan diplomatik kepada Taiwan. Sehingga antara Indonesia dan Taiwan hanya terjalin hubungan perekonomian dan perdagangan.



[1] Sefriani, Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2010 hlm 187
[2] Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Yogyakarta, 2006, hlm. 134
[3] Ibid, hlm. 135
[4] http://hi.umy.ac.id/menelisik-kedaulatan-taiwan/
[5] Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm. 202
[6] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, 1976, hlm.17
[7] Huala Adolf, op.cit, hlm. 246
[8] Jawahir Thontowi, op.cit, hlm. 136
[9] http://www.antaranews.com/berita/1270121027/hubungan-ri-taiwan-tak-terkendala-masalah-politik
[10] http://www.neraca.co.id/harian/article/20265/IndonesiaTaiwan.Perkuat.Kerjasama.dan.Investasi