Kamis, 17 Maret 2011

PENGERTIAN KORUPSI DAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAGIAN DARI HUKUM PIDANA KHUSUS

A. PENGERTIAN KORUPSI DAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAGIAN DARI HUKUM PIDANA KHUSUS
Kata Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang memiliki arti busuk, rusak, menyogok, menggoyahkan, memutarbalik. Secara Harfiah, Korupsi berarti kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah.
 Andi Hamzah (2005), menjelaskan bahwa Korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi.
Definisi Korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi, definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi adalah:
1.      Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
2.      Menyelewengkan; menggelapkan (uang dsb).
Perbuatan Korupsi dalam dalam istilah kriminologi digolongkan kedalam kejahatan White Collar Crime dan dapat juga dikatakan sebagai extra ordinary crime, karena ia merupakan kejahatan luar biasa begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Sehingga dalam pelaksanaannya dapat ditemukan penyimpangan dari ketentuan KUHP sehingga tindak pidana korupsi di golongkan ke dalam hukum pidana khusus.
B. SEBAB DAN AKIBAT KORUPSI
Robert Klitgaard, dkk (2002) berpendapat bahwa penyebab terjadinya korupsi dapat terjadi jika adanya kekuasaan monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang dan orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Berdasarkan rumusan ini, dapat diasumsikan juga bahwa semakin besar kekuasaan serta kewenangan yang luas dan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi/person, otomatis potensi korupsi yang dimiliki akan semakin tinggi.
Singh (1974), dalam penelitiannya menemukan beberapa sebab terjadinya praktek korupsi, yakni: kelemahan moral, tekanan ekonomi, hambatan struktur administrasi, hambatan struktur sosial. Kartono (1983), menegaskan bahwa terjadi korupsi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu:
1.      Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
2.      Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
3.      Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
4.      Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
5.      Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah.
Dampak atau akibat dari tindak korupsi ini, juga digambarkan secara baik oleh Gatot Sulistoni, Ervyn Kaffah & Syahrul Mustofa (2003), dalam 3 (tiga) kategori, yakni: politik, ekonomi dan sosial-budaya.
*      Secara politik, tindakan korupsi juga mengakibatkan rusaknya tatanan demokrasi dalam kehidupan bernegara, Karena: Pertama, prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak akan terjadi sebab kekuasaan dan hasil-hasil pembangunan lebih banyak dinikmati oleh para koruptor. Kedua, posisi pejabat dalam struktur pemerintahan diduduki oleh orang-orang yang tidak jujur, tidak potensial dan tidak bertanggungjawab. Hal ini disebabkan karena proses penyeleksian pejabat tidak melalui mekanisme yang benar, yakni uji kelayakan (Fit and Propper Test), tetapi lebih dipengaruhi oleh politik uang (Money Politic) dan kedekatan hubugan (Patront Client), ketiga, Proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga proses pembangunan berkelanjutan terhambat.
*      Dari aspek ekonomi, dampak dari suatu tindak korupsi contohnya: Pertama, Pendanaan untuk petani, usaha kecil maupun koperasi tidak sampai ke tangan masyarakat.
*      Sedangkan dampak korupsi dari aspek sosial diantaranya: Pertama, Pada tingkat yang sudah sangat sistematis, sebagian besar masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek profesionalisme dan kejujuran (Fairness). Hal ini disebabkan karena semua persoalan diyakini bisa diselesaikan dengan uang sogokan. Kedua, Korupsi mendidik masyarakat untuk menggunakan cara-cara tidak bermoral dan melawan hukum untuk mencapai segala keinginannya.
Faktor-faktor akibat korupsi menurut Alatas (1987) :
1.      Timbulnya ketidakefisienan yang menyeluruh didalam birokrasi.
2.      Dalam bidang ekonomi, korupsi menimbulkan beban yang harus dipikul oleh masyarakat. Sebagai implikasi dari tingginya korupsi misalnya, akan maembuat harga-harga menjadi lebih mahal, disamping beban berupa pajak dan pungutan lain yang sah. Selain itu, pengelakan pajak yang dilakukan oleh orang yang korup, harus ditutup dengan pajak dari warga negara yang jujur. Selanjutnya, secara ekonomis korupsi juga menaikkan biaya pelayanan, serta mengabaikan produktivitas dan kesejahteraan rakyat.
3.      Pengaruh lainnya seperti larinya tenaga ahli ke luar negeri, lahirnya berbagai bentuk
ketidakadilan yang mempengaruhi pribadi-pribadi yang tidak terhitung banyaknya,pemerintah yang mengabaikan tuntutan terhadap kelayakan pemerintahan, sikap masa bodoh yang meluas, kelumpuhan psikologis dalam arti tidak terdapat
kreativitas kerja yang terbit dari suasana yang sehat, menyuburkan jenis kejahatan
lain dalam masyarakat, melemahnya semangat perangkat birokrasi dan mereka yang
menjadi korban, dan sebagainya.
Pada akhirnya, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan. Apalagi fakta membuktikan bahwa korupsi diberbagai segmen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia, sampai dengan saat ini masih terus terjadi dan semakin menjadi-jadi. Pemberantasan korupsi ini tidak akan membawa hasil yang optimal, apabila hanya dilakukan oleh pemerintah dan instrumen formal lainnya, tanpa mengikutsertakan rakyat yang notabene adalah korban dari kebijakan segelintir orang (baca : Para Pemegang Kebijakan).


C. BENTUK-BENTUK KORUPSI DAN RUANG LINGKUPNYA
Adapun dari segi tipologi, Alatas (1987) membagi korupsi kedalamtujuh jenis yang berlainan. Ketujuh jenis korupsi itu adalah sebagai berikut :
1.      Korupsi transaktif (transactive corruption), menunjuk kepada adanya kesepakatan
timbal balik antara pemberi dan pihak penerima, demi keuntungan kedua belah pihak.
2.      Korupsi yang memeras (extortive corruption), menunjuk adanya pemaksaan kepada
pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancan dirinya, kepentingannya atau hal-hal yang dihargainya.
3.      Korupsi investif (investive corruption), adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
4.      Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan istimewa secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
5.      Korupsi defensif (defensive corruption) adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
6.      Korupsi otogenik (autogenic corruption) yaitu korupsi yang dilakukan oleh seseorang seorang diri.
7.      Korupsi dukungan (supportive corruption) adalah korupsi yang dilakukan untuk memperkuat korupsi yang sudah ada.
Ruang lingkup korupsi
Korupsi yang sekarang merajalela di Indonesia, berakar pada masa tersebut ketika kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial (Weber) yang berkembang pada kerangka kekuasaan feodal dan memungkinkan suburnya nepotisme. Dalam struktur kekuasaan yang demikian, maka penyimpangan, penyuapan, korupsi dan pencurian akan dengan mudah berkembang (Mochtar Lubis, 1995). Dalam perkembangan selanjutnya, dapat dilihat bahwa ruang lingkup korupsi tidak terbatas pada hal-hal yang sifatnya penarikan pungutan dan nepotisme yang parah, melainkan juga kepada hal-hal lain sepanjang perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

D. PENANGGULANGAN KORUPSI
Cara untuk memberantas atau mencegah korupsi dapat dibagi kedalam tiga kategori besar, yakni kategori kultural, kategori sosial historis, dan kategori pemerintahan.
Dari kategori kultural, program penanggulangan korupsi sangat tergantung pada keadaan dan kemauan kelompok pemimpin. Dalam hal ini sangat dituntut kesadaran dan pemahaman terhadap sifat, sebab dan akibat korupsi, dengan dimilikinya kesadaran serta pengertian dan pemahaman para pejabat terhadap korupsi, diharapkan mereka akan merubah orientasinya bahwa pembangunan dan aspek-aspek keuangannya hanyalah ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Dalam kaitan ini perlu dibangun juga keberanian melengserkan pejabat yang korup secara sistematis.
Sedangkan dari kategori sosial historis, budaya birokrasi patrimonial perlu dikikis secara perlahan-lahan namun pasti, sehingga pada saatnya akan menghapus pula budaya nepotisme yang jelas-jelas tidak mendukung kepada upaya penciptaan profesionalisme birokrasi. Dengan kata lain, sudah saatnya warisan budaya lama ini ditinggalkan dan disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan baru yang lebih menghendaki rekrutmen secara lebih adil dan obyektif.
Adapun dari kategori pemerintahan, banyak hal yang harus dilakukan antara lain melalui strategi sebagai berikut:
1.      Penyempurnaan atau pembaharuan sistem administrasi yang belum sempurna untuk mencegah kebocoran. Khususnya masalah pengawasan harus lebih diintensifkan dan memangkas duplikasi-duplikasi dalam kelembagaan pengawasan.
2.      Peningkatan tingkat kesejahteraan aparatur. Pengertian kesejahteraan disini harus ditafsirkan sebagai pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik, dimana dengan pemenuhan dari kedua aspek ini diharapkan aparatur tidak akan mudah tergoda untuk melakukan penyelewengan, justru sebaliknya akan memperkuat motivasinya guna mengabdikan diri kepada kepentingan bangsa dan masyarakat.
3.      Pembaharuan sistem hukum pidana nasional guna mencegah kecenderungan kolusi
yang sulit dibuktikan. Pembaharuan sistem hukum disini dimaksudkan sebagai
penegakan norma-norma yang tidak semata-mata mengandalkan kepada kebenaran
formil dalam pembuktiannya, tetapi juga harus memperhatikan perasaan keadilan dalam masyarakat secara materil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar